Berita

Ketua Komite Fatwa Eropa Kunjungi MUI, Sampaikan Empat Kaidah Fikih di Negara Minoritas Muslim

Published

on

Dr. Muhammad Ali Ba’alau, Ketua Komite Fatwa Badan Pengembangan Halal Eropa, berkesempatan hadir saat acara Halaqah Dakwah MUI pada Rabu (1/11/2023) di Kantor MUI, Jakarta (Dokumentasi : @mui.or.id)

Jakarta, goindonesia.co — Ketua Komite Fatwa Badan Pengembangan Halal Eropa, Dr. Muhammad Ali Ba’alau berkesempatan hadir mengunjungi acara Halaqah Dakwah MUI pada Rabu (1/11/2023) di Kantor MUI, Jakarta. Dalam kesempatannya tersebut, ia membeberkan setidaknya empat kaidah berkenaan dengan fikih minoritas.

Pertama-tama, Dr. Ba’alau menjelaskan bahwa fikih minoritas hanya berlaku bagi muslim yang hidup di negara dengan mayoritas penduduknya non-muslim. Fikih ini akan berbeda dengan fikih yang berlaku di negara berpenduduk mayoritas muslim.

“Pertama adalah kaidah mempermudah dan menghilangkan atau menghindari kesulitan (at-taysir wa raf’u ‘anil haraj), ” ujarnya.

Contoh dari kaidah ini, terang Dr. Ba’alau ialah kebolehan menjamak shalat Magrib dan Isya meski tidak dalam kesulitan. Praktik ini kerap terjadi ketika musim panas di negara-negara Eropa.

“Saat musim panas di Britania, malam hari hanya berlangsung selama 5 jam dan siang hari selama 19 jam dan pada keadaan seperti ini sulit untuk membedakan kapan waktu Magrib usai dan kapan masuknya waktu Isya sampai subuh tiba,” jelasnya.

Karena samarnya antara waktu magrib dan isya tersebut, ucap Dr. Ba’alau, Komite Fatwa Eropa membolehkan menjamak shalat maghrib dan isya meski tidak dalam perjalanan atau sebab lain yang biasanya menjadi alasan jamak shalat diperbolehkan.

“Hal ini untuk mempermudah masyarakat di sana dan dalam rangka menerapkan kaidah mempermudah dan menghilangkan kesulitan,” kata dia.

Kaidah kedua, kata dia, adalah adanya kebutuhan yang setara dengan hukum darurat (al-hajah tunazzalu manzilata ad-dharurah).

Contoh penerapan kaidah ini adalah ketika masyarakat Eropa dihadapkan pada mahalnya biaya tempat tinggal sehingga mereka terpaksa mencicilnya lewat Bank Ribawi.

“Tempat tinggal adalah kebutuhan darurat, oleh karena itu, kami menerbitkan fatwa mengenai kebolehan bertransaksi di Bank Ribawi untuk kebutuhan yang memang darurat,” ujarnya.

Ketiga, imbuh dia, adalah kaidah fatwa dapat berubah tergantung zaman, situasi, dan kondisi (taghayyurul fatwa bittaghayyuriz zaman wal hal).

Penerapannya dalam fikih minoritas, jelas Dr. Ba’alau, adalah kebolehan seorang muslim dalam menerima warisan non-muslim.

“Seperti kita tahu, dalam fikih disebut tidak boleh seorang muslim menerima warisan non-muslim dan sebaliknya. Akan tetapi, karena kita hidup di wilayah yang mayoritas penduduknya non-muslim, perihal waris jadi diperbolehkan mengacu pada pendapat sahabat Ali,” terangnya.

Kaidah keempat dari fikih minoritas adalah mempertimbangkan dampak masa depan, (al-‘ibratu bil maalat).

Misalnya ketika sekolah-sekolah di sebagian negara Eropa melarang siswinya mengenakan hijab.

“Karena mempertimbangkan pentingnya pendidikan bagi perempuan dan dampak yang lebih berbahaya jika mereka tidak dapat menempuh studi yang layak, akhirnya diputuskan jika dalam keadaan tersebut para siswi diperbolehkan melepas hijab, ” ungkap Dr. Ba’alau.

Sebagai pengingat, fatwa-fatwa ini hanya berlaku di wilayah tersebut dan tidak berlaku di negara yang mayoritasnya muslim seperti Indonesia. Hal yang dapat kita petik adalah bagaimana menjadi seorang Dai yang mampu menghadirkan solusi atas tantangan zaman tetapi tetap berpijak pada kaidah-kaidah yang ada yang diwariskan oleh Nabi, Sahabat maupun ulama terdahulu. (***)

*@mui.or.id

Trending

Copyright © 2021 goindonesia.co