Kultum

Aku Datang Memenuhi Panggilan-Mu Ya Allah (6)

Published

on

Ama R. Hery Herdiana (Foto : Koleksi Pribadi)

Oleh: Ama R. Hery Herdiana

Assalamu’alaikum wrwb sahabat fillah

Jakarta, goindonesia.co – Alhamdulillah kami telah Mabit di Muzdalifah dan mengambil batu untuk melempar Jumrah Ula, Wustho dan Aqoba di Mina. Rosulullah SAW bersabda dengan lisannya yang mulia, “Sesungguhnya, diadakannya thowaf di Ka’bah, Sa’i antara Shofa dan Marwa dan melempar Jumrah, adalah untuk mengingat Allah” [HR. Abu Daud].

Sahabat fillah, sebagaimana kita ketahui melempar jumrah dibagi 2 waktu, yakni pertama pada hari raya Idul Adha10 Dzulhijah melontar jumrah Aqobah saja.

Yang kedua pada hari-hari tasyriq 11, 12, 13 melontar jumrah Ula Wustho, dan Aqobah.  

Perjalanan menuju Jamarat tidak mudah dilakukan saat matahari sudah mulai terik. Sepanjang jalan dari kemah maktab  menuju Jamarat yang sangat panas menurut ukuran orang Indonesia, kami membayangkan bagaimana perjuangan nabi Ibrahim as dan Ismail as naik ke bukit ini dengan medan yang belum seenak seperti saat ini dan kondisi cuaca yang sangat panas seperti ini sambil terus mendawamkan sholawat Ibrahim dalam hati. Jaman nabi-nabi dahulu daerah ini masih batu-batu dan bukit terjal sekarang sudah jalan aspal, cone block bahkan ada terowongan sepanjang kurang lebih 3 km yang dilengkapi dengan kipas besar/blower dan eskalator datar.

Alloh SWT berfirman,”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia… [QS. Mumtahanah 4]. Salah satunya adalah berkurban.

Dalam al-qur’an  surat Ash-Shoffat disebutkan Ibrahim berkata: Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Lalu dijawab oleh anaknya “Ia menjawab: Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

Setelah keduanya mengucapkan persaksian dan menyebut nama Allah untuk melakukan penyembelihan itu.

Kemudian Ibrahim merebahkan Ismail pada keningnya, saat itu Ismail mengenakan kain gamis putih, lalu Ismail berkata kepada ayahnya,

“Hai Ayah, sesungguhnya aku tidak mempunyai pakaian untuk kain kafanku selain dari yang kukenakan ini, maka lepaskanlah kain ini agar engkau dapat mengafaniku dengannya.” Maka Ibrahim bermaksud menanggalkan baju gamis putranya itu. Tetapi tiba-tiba ada suara yang menyerunya dari arah belakang: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. [QS. Ash-Shoffat 102-105].

Seperti keluarga Ibrahim as inilah seharusnya kita mencontoh keteladanan ke-SAMAWA-an, hubungan keluarga, ketakwaan, ketawakkalan, kesabaran, kerja sama antara anak dengan orang tuanya, suami dan istrinya.

Dari Ibnu Abbas ra, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah Aqobah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah“.

Ibnu Abbas kemudian mengatakan, “Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim“.

Jabir ra berkata,”Rasulullah saw melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat” [HR. Muslim].

Dengan membaca Bismillahi Allohu Akbar rojman lisyayatin  waridhan li rohman. Kutukan bagi segala. Setan dan ridho bagi Alloh yang maha Pengasih, kami melempar satu persatu kerikil atau batu kecil ke Jamarat Ula, Wustho, Aqobah mengikuti apa sunah nabi SAW.

Tanggal 12 Duzlhijah dinihari kami sudah kembali ke Mekkah (nafar awal),  lalu istirahat sebelum melakukan Thawaf Ifadhah, Sa’i dan Tahallul. Sebagian dari kami juga berkurban di Mekkah.

Adapun tentang Hikmah hakekat yang didapat dari rangkaian Haji ini Syekh Ali Zainal Abidin bertanya, “Apakah engkau telah melewati kedua bukit Al-’Alamain, melakukan shalat dua rakaat sebelumnya, lalu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah untuk memungut batu-batu di sana, lalu melewati Masy’aral Haram?” “Ya, benar.” “Ketika shalat dua rakaat, apakah engkau meniatkannya sebagai shalat syukur, pada malam menjelang sepuluh Dzulhijjah, dengan mengharap tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala kemudahan? Ketika lewat diantara bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh kanan kiri, apakah saat itu engkau bertekad untuk tidak bergeser dari Islam; tidak dengan hatimu, lidahmu, dan semua gerak gerikmu? Ketika berangkat ke Muzdalifah, apakah engkau berniat membuang jauh segala maksiat serta bertekad untuk beramal yang diridhoi-Nya? Ketika melewati Masy’aral Haram, apakah engkau mengisyaratkan untuk bersyiar seperti orang-orang yang bertakwa kepada Allah?” “Tidak.” “Wahai Syibli, sesungguhnya engkau tidak melakukan itu semua!”

Ali Zainal ‘Abidin melanjutkan, “Ketika engkau sampai di Mina, apakah engkau yakin telah sampai di tujuan dan Tuhanmu telah memenuhi semua hajatmu? Ketika melempar Jumrah, apakah engkau meniatkan untuk melempar dan memerangi iblis, musuh besarmu? Ketika mencukur rambut (tahallul), apakah engkau bertekad untuk mencukur segala kenistaan? Ketika shalat di Masjid Khaif, apakah engkau bertekad untuk tidak takut, kecuali kepada Allah dan tidak mengharap rahmat kecuali dari-Nya semata? Ketika memotong hewan kurban, apakah engkau bertekad untuk memotong urat ketamakan; serta mengikuti teladan Ibrahim yang rela mengorbankan apapun demi Allah?

Ketika kembali ke Mekkah dan melakukan Thawaf Ifadhah, apakah engkau meniatkannya untuk berifadhah dari pusat rahmat Allah, kembali dan berserah kepada-Nya?” Dengan gemetar, Asy-Syibli menjawab, “Tidak, wahai Guru.” “Sungguh, engkau tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak bertahallul, tidak menyembelih kurban, tidak manasik, tidak shalat di Masjid Khaif, tidak Thawaf Ifadhah, tidak pula mendekat kepada Allah! Kembalilah, kembalilah!  Sesungguhnya engkau belum menunaikan hajimu!” Asy-Syibli menangis tersedu, menyesali ibadah haji yang telah dilakukannya. Sejak itu, ia giat memperdalam ilmunya, sehingga tahun berikutnya ia kembali berhaji dengan ma’rifat serta keyakinan penuh dan menjadi ulama sufi besar di jamannya.

Note : Syekh Asy-Syibli adalah seorang ulama sufi besar dari Persia yang bernama  Abu bakar bin Dulaf ibnu juhdar Asy-Syibly. Nama asy-syibli di nisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Beliau di lahirkan pada Tahun 247 H. Di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. karena kepandaian dan kedalaman ilmunya membuat karirnya menanjak pesat, ia menduduki beberapa jabatan penting selama bertahun – tahun. Antara lain : menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermaven. Abu Bakar Asy-syibly meninggalkan karir dan jabatannya, dan ia ingin bertaubat. Dalam perjalan membersihkan hatinya ia bertemu dan berguru dengan beberapa orang ulama sufi besar di jamannya antara lain Syekh Junaid Al-Baghdadi, dan Syekh Ali Zainal ‘Abidin.

Ya Allah, jadikanlah haji kami haji yang mabrur (baik dan diterima), umrah kami umrah yang mabrur, sai kami sa’i yang disyukuri, dosa kami dosa yang diampuni, amal kami amal saleh yang diterima dan perdagangan kami perdagangan yang tidak merugi, wahai Dzat Yang Maha Mengetahui apa yang ada dalam dada, keluarkanlah kami dari kezaliman menuju cahaya (keimanan).”

Aamiin ya Mujibbassailiin…(bersambung….)(***)

Mekkah, 1 Juli 2023/13 Dzulhijjah 1444 H

*Penulis adalah Pimpinan Majelis Dzikir Asyiiqi Rosululloh (#21)

Trending

Copyright © 2021 goindonesia.co