Connect with us

Kultum

Berapa Kali Kita Durhaka Kepada Allah SWT, Ini Jawabannya

Published

on

Ama Hery Herdiana (Dok. : Pribadi)

Oleh: Ama Hery Herdiana

Assalamualaikum wrwb sahabat fillah.

Jakarta, goindonesia.co – Di beberapa hari bulan Ramadhan ini ada seorang murid bertanya kepada gurunya yang mulia, “Wahai guru, berapa kali kita durhaka kepada Alloh SWT dan Dia tidak menghukum kita?

Maka sang guru muliapun menjawab, “Anakku, berapakali Alloh SWT telah menghukummu sedangkan kamu tidak menyadarinya? Bukankah ketika dihilangkannya dari dirimu akan rasa nikmat bermunajat kepada-Nya adalah merupakan sebuah hukuman?

Ya Salam kita hampir tidak menyadarinya, seringkali kita cuek dan merasa biasa saja ketika tidak ada rasa nikmat dalam beribadah, hari-hari dan malam-malam Ramadhan ini berlalu tanpa ada kesenangan dan kegembiraan dalam beribadah, astagfirullahal azhiim…

Kemudian sang guru melanjutkan, “Anakku, tidak ada cobaan yang lebih besar menimpa seseorang dari kerasnya hati. Sesungguhnya hukuman yang paling besar dan mungkin kamu temui adalah sedikitnya taufik kepada perbuatan baik.”

Bukankah telah berlalunya hari-hari dan malam-malam ramadhanmu tanpa bacaan al-Quran? itu adalah sebuah hukuman.

Bukankah telah berlalu malam-malam ramadhanmu sedangkan engkau terhalang dari sholat malam atau riyadhoh? Itu juga adalah sebuah hukuman.

Bukankah telah berlalu beberapa hari dan malam di bulan Ramadhan ini, sedangkan engkau tidak mendapatkan taufik untuk memanfaatkannya sebagaimana mestinya, hukuman mana lagi yang lebih banyak dari ini?

Tidakkah engkau merasakan beratnya ketaatan?

Ya Alloh, kami memohon lunakanlah hati kami, berilah kami taufik, hidayah, inayah dan kekuatan di bulan Ramadhan ini untuk bersungguh-sungguh beribadah kepada Engkau.

Ya Alloh ringankanlah langkah kami kepada ketaatan, berilah kami kenikmatan beribadah, mudahkanlah segala urusan dunia dan akhirat kami, ampunilah dosa-dosa kami, aamiin yra.

Sang guru kemudian melanjutkan, ”Anakku, tidakkah engkau merasa lemah dihadapan hawa nafsu?” Bukankah engkau merasa ringan untuk berghibah, dusta atau mengadu domba?

Bukankah engkau diuji dengan urusan dunia dan tersibukkan untuk kegiatan yang sia-sia serta tidak bermanfaat untukmu?

Bukankah akhirat dilupakan dan dunia dijadikan sebagai tujuan utama? Tidaklah itu semua kecuali bentuk hukuman dari Alloh.

Ya Alloh tundukkanlah hawa nafsu untuk kami agar kami tidak berbuat sia-sia, dosa atau maksiat, agar kami giat beribadah, agar kami tidak terhalang untuk memperoleh keberkahan pahala hari-hari di bulan Ramadhan dan lailatul qodar.

Ya Alloh berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, aamiin yra.

Sahabat fillah berhati-hatilah, sesungguhnya hukuman Alloh yang paling ringan adalah yang terletak pada merasa kurang akan materi, harta, anak, kesehatan, dan sesungguhnya ternyata hukuman terberat adalah hati yang terhalang atau tertutup untuk mendapatkan petunjuk, taufik, hidayah dan kelezatan beribadah sehingga diri kita tidak mau berbuat amal sholeh, malah sebaliknya senang berbuat sia-sia, maksiat dan dosa.

Sungguh sangat merugi jika di hari-hari bulan yang Agung, Mulia dan penuh Berkah ini kita terhalang dari beribadah kepada Allah.

Sungguh sangat merugi jika kuantitas dan kualitas ibadah kita tidak semakin sering dan lebih baik.

Sungguh sangat merugi jika pengetahuan agama, bacaan atau hapalan al-qur’an kita tidak jauh lebih baik.

Sungguh sangat merugi jika kita tidak mendapat keutamaan lailatul qodar.

Sungguh sangat merugi jika kita tidak mendapat ampunan Alloh SWT di bulan Ramadhan ini. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.

Ya Alloh, sekali lagi kami berlindung dengan perlindungan-Mu dari hukuman-Mu. Kami berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu.

Ya Alloh curahkanlah rahmat-Mu kepada kami, orang tua, guru, istri/suami dan anak cucu kami semua sehingga kami semua mendapatkan keutamaan lailatul qodar, curahkanlah ampunan-Mu kepada kami, kepada kedua orang tua kami, kepada guru-guru kami, istri/suami kami, anak cucu kami, dan kepada kawan-kawan seperjuangan kami dalam menegakkan dien-Mu (baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggalkan kami), serta curahkanlah ampunan-Mu kepada seluruh kaum muslimin.

Ya Robb kami hindarkanlah diri kami dari segala kesulitan di dunia dan akhirat, hidupkan dan matikanlah kami dalam berpegang teguh kepada iman yang sempurna dan berpegang teguh kepada kitabulloh dan sunnah rosul serta ridho-Mu kepada kami, aamiin yra…

Semoga bermanfaat Cag… (***)

*Penulis adalah Pimpinan Majelis Dzikir Asyiiqi Rosululloh (#12)

Kultum

Makna Hijrah

Published

on

Ama R. Hery Herdiana (Foto : Koleksi Pribadi)

Oleh: Ama R. Hery Herdiana

Assalamualaikum wr wb sahabat fillah.

Jakarta, goindonesia.co – Alhamdulillah tadi saya berkesempatan untuk menyampaikan khutbah Jum’at. Tema yang saya sampaikan adalah Makna Hijrah.

Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, yang sudah sepatutnya kita hanya memuja dan memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan hanya kepada-Nya, serta kita berlindung hanya kepada Allah dari kejahatan diri-diri kita dan dari keburukan amal-amal perbuatan kita dan dari kejahatan setan dari golongan manusia dan jin yang sangat rojim.

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tak seorangpun dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tak seorangpun mampu memberinya petunjuk. Oleh karenanya marilah kita gapai petunjuk itu dengan senantiasa untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Tidak terasa hari ke hari berganti cepat, begitupun dengan minggu ke minggu, bulan dan tahun. Hari ini Alhamdulillah sudah menginjak hari ke 17 di tahun baru 1445H. Sebagaimana kita ketahui kalender tahun baru Islam dimulai dari bulan Muharram. Menurut Tarikh Ibnu Hisyam, Rasulullah SAW sendiri baru hijrah ke Madinah dan dua bulan berikutnya yakni pada 12 Rabiul Awal 1 H atau pendapat lain menyebut 2 Rabiul Awal 1 H (622 M).

Pada 1 Muharram adalah awal persiapan hijrah Rasulullah SAW dari Makkah menuju Madinah. Para sahabat diantaranya Utsman ra, Hamzah ra, dan Zaid ra diutus oleh Rasulullah saw untuk berangkat hijrah pada malam tanggal 1 Muharram. Beberapa sepupu nabi sudah mulai diperintakan untuk berhijrah secara berangsur-angsur pada awal Muharram.

Maka tentu saja dari peristiwa hijrah ini kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah. Barangsiapa yang diberi petunjuk dan kemudian berhijrah, Allah menjanjikan kepada orang-orang yang hijrah meninggalkan kampung halamannya, lokasi tempat tinggal, tempat berdakwah, tempat mencari nafkahnya agar dapat lebih menaati perintah Allah dan mengharapkan keridhoan-Nya, mereka akan memperoleh tempat tinggal yang lebih makmur, lebih tenteram dan aman dan lebih mudah menunaikan kewajiban-kewajiban agama di tempat atau daerah yang baru itu.

Janji yang demikian itu sangat besar pengaruhnya bagi mereka yang berhijrah. Sebab umumnya orang-orang yang dalam tekanan penguasa yang zholim, tidak mempunyai kekayaan untuk bekal yang cukup dan merasa tidak mempunyai pelindung yang tidak ikut hijrah menyangka bahwa hijrah itu penuh dengan penderitaan dan daerah yang dituju itu tidak memberikan kelapangan hidup bagi mereka.

Alloh SWT berfirman, “Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak.

Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” [QS. An-Nisa 100].

Sahabat fillah, makna dan istilah hijrah seringkali tertukar atau disamakan dengan taubat. Tentu saja makna dan arti keduanya sangat berbeda. Secara istilah, taubat bermakna menyesali dosa dan meminta pengampunan atas dosa. Sedangkan hijrah berasal dari kata hajaro-yahjuru-hijrotan yang memiliki makna berpaling.

Biasanya diungkapkan untuk suatu perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari suatu kondisi ke yang kondisi yang lain. Sering kali perbuatan tobat diikuti oleh tindakan hijrah.

Para ulama selanjutnya mengklasifikasikan hijrah secara syar’i (hijrah syar’iyyah) menjadi dua jenis. Yaitu secara hijrah secara fisik dan hijrah secara non fisik. Hijrah fisik adalah hijrah yang dilakukan dengan meninggalkan secara fisik suatu tempat daerah, negeri menuju tempat, daerah atau negeri lainnya dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Hijrah untuk makna ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: hijrah Islam yaitu hijrahnya Rasululloh saw beserta keluarga dan para sahabat; Hijrah dari wilayah kafir, yaitu hijrahnya seorang muslim dari tempat, daerah, kafir menuju tempat atau daerah yang aman untuk menjalankan ajaran Islam.

Dan terakhir hijrah dari wilayah maksiat yaitu hijrahnya seorang muslim dari lokasi, tempat, daerah maksiat atau menjual, atau menjalankan sistem maksiat/haram menuju tempat atau daerah yang menjalankan sistem yang halal dan mudah untuk menjalankan kewajiban seorang muslim yaitu menjalankan ajaran Islam. Maksudnya dalam kontek saat ini bisa juga hijrah dari satu tempat bekerja/usaha yang haram ke tempat kerja yang halal.

Adapun maksud dari hijrah syar’i secara non fisik adalah hijrah yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan istilah hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud dari hijrah kepada Allah adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat untuk mengabdi, mencintai-Nya lebih dari apapun dan senantiasa mengikhlashkan ibadah semata untuk-Nya.

Sedangkan maksud dari hijrah kepada Rasulullah adalah menjadikan tindak tanduk ucapan dan perbuatannya secara batin maupun zhahir, senantiasa selalu berada di dalam risalah dan ajaran Rasulullah Muhammad saw.

Dari Umar bin Khattab, dia berkata: Rasulullah SAW dengan lisannya yang mulia bersabda, “Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya ia akan mendapatkan sesuatu yang diniatkannya, barangsiapa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk memperoleh dunia atau seorang Wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya” [HR. Bukhari Muslim].

Dari Abdullah bin Amru, Nabi SAW dengan lisannya yang mulia bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah” [HR. Bukhari Muslim].

Sahabat fillah, marilah kita berusaha sekuat tenaga dan segenap kemampuan untuk mengikuti semua perintah Alloh dan rosul-Nya jangan hanya memilih menjalankan perintah yang kita sukai dan sesuai dengan keinginan kita saja. Alloh SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” [QS. Al-Baqoroh 208].

Mumpung awal tahun, maka mari kita tengok, review, revisi dan bahkan buat ulang rencana kita di tahun 1445 H ini agar semua aktifitas kita tidak lain hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan meningkatkan ketakwaan kita agar hidup yang diberikan dan diawasi Alloh SWT ini berkah untuk kehidupan dunia dan akherat kita. Semoga Alloh SWT ridho dengan usaha kita. Aamiin yra. (***)

*Penulis adalah Pimpinan Majelis Dzikir Asyiiqi Rosululloh (#23)

Continue Reading

Kultum

Jangan Pernah Lelah Untuk Berdoa

Published

on

Ustadz Ama R. Hery Herdiana bersama 2 orang sahabat: Ust. Imam dan Ust. Aji (Foto : Koleksi Pribadi)

Oleh: Ama R. Hery Herdiana

Assalamualaikum wrwb sahabat fillah.

Jakarta, goindonesia.co – Menemani istirahat siang baik yang sedang shaum sunnah ataupun yang sedang menyeruput kopi. Janganlah menyalahkan Tuhan/Rabb kita jika permohonan kita lambat Dia kabulkan. Dan janganlah bosan untuk meminta. Jika permintaan itu tidak diterima dan dikabulkan di dunia ini, maka Allah akan memenuhinya di akhirat kelak.

Ada suatu hadits Nabi yang menyatakan bahwa di hari kebangkitan kelak, hamba-hamba Allah akan mendapatkan buku yang memuat catatan-catatan tentang perbuatan hamba-hamba-Nya. Dalam buku itu diterangkan bahwa ada perbuatan baik yang tidak diketahui oleh hamba itu. Maka ketika itu akan diberitahukan kepadanya bahwa balasan yang diterimanya ini adalah sebagai ganti dari doanya di dunia yang ditakdirkan untuk tidak diterimanya.

Sekurang-kurangnya, hamba itu harus selalu ingat kepada Allah, berpegang teguh kepada-Nya dan bertauhid kepada-Nya sambil memohon kepada-Nya. Janganlah meminta kepada mahluk, tetapi memintalah kepada Allah. Oleh karena itu, dalam pertukaran siang dengan malam, sehat dengan sakit, waktu perang dengan waktu aman atau waktu senang dengan waktu susah, kita berada dalam salah satu di antara dua keadaan di bawah ini :

1 .Baik kita memohon, tetap berpuas hati, rela dan menyerah kepada perbuatan Allah seperti mayat yang sedang dimandikan, atau seperti bayi yang berada di pangkuan ibunya dan atau seperti bola yang berada di kaki pemain. Orang seperti ini, dengan sukarela, selalu mengikuti apa yang ditakdirkan Tuhan. Jika kebaikan datang kepadanya, maka ia bersyukur, sebagaimana firman-Nya, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema’lumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat-Ku) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS 14:7)

Dan jika malapetaka yang datang kepadanya, maka ia bersabar dan ridha, dengan pertolongan daya upaya Allah, dengan keteguhan hati dan dengan rahmat Allah, seperti firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS 2:153)

Dengan kata lain, Dia beserta orang-orang yang sabar dengan karunia-Nya yang berupa pertolongan dan kekuatan, sebagaimana firman-Nya, “…jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS 47:7)
Apabila kita telah menolong Allah dengan jalan menumpas hawa nafsu kita, tidak menyalahkan Dia, dengan menghindarkan diri dari tidak rela terhadap perlakuan-Nya kepada kita, maka kita menjadi musuh bagi diri kita sendiri karena Allah, bersedia memancungnya dengan pedang jika ia bergerak hendak kufur atau syirik dan memenggalnya dengan kesabaran dan bersesuaian dengan Allah, dan dengan rela terhadap perbuatan dan janji-janji-Nya, maka Allah akan menjadi penolong kita. Allah berfirman, “…dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Inna Lillahi wa inna ilaihi raaji’uun” (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada- Nya-lah kami kembali).” (QS 2:155-156). Inilah golongan yang mendapatkan limpahan rahmat Allah dan merekalah pengikut- pengikut jalan yang benar.

2 .Maupun kita bermohon kepada Allah dengan sholat dan berdoa dengan sepenuh harapan, mengagungkan-Nya dan patuh kepada-Nya. Ya, serulah Allah. Itulah yang baik untuk kita lakukan, karena Allah sendiri menyuruh kita untuk bermohon kepada-Nya, menghadapkan diri kepada-Nya dan menjadikan-Nya sebagai jalan untuk mencapai kesenangan, dengan syarat tidak menyalahkan-Nya dan membuat-Nya murka sekiranya permohonan kita Dia tangguhkan sampai masa yang akan datang yang telah ditentukan oleh Nya.

Oleh karena itu, perhatikanlah perbedaan diantara dua alternatif itu. Janganlah melampaui batas-batas keduanya, karena tidak ada alternatif lain selain dua alternatif tersebut. Maka berhati-hatilah agar jangan sampai kamu menjadi orang yang zholim dan melampaui batas. Jika kita zholim dan melampaui batas, maka Allah akan membinasakan dan membiarkan kita seperti orang-orang sebelum nya yang telah dibinasakan dan dihancurkan oleh Tuhan/Rabb di dunia ini, dan di akhirat kelak akan disiksa dan dihukum dengan siksaan yang amat pedih.

Segala puja dan puji hanyalah bagi Allah Yang Maha Besar dan Maha Agung. Wahai Tuhan Yang Maha Mengetahui keadaan kami, hanya kepada-Mu-lah kami menyerahkan diri kami. (***)

*Penulis adalah Pimpinan Majelis Dzikir Asyiiqi Rosululloh (#22)

Continue Reading

Kultum

Aku Datang Memenuhi Panggilan-Mu Ya Allah (6)

Published

on

Ama R. Hery Herdiana (Foto : Koleksi Pribadi)

Oleh: Ama R. Hery Herdiana

Assalamu’alaikum wrwb sahabat fillah

Jakarta, goindonesia.co – Alhamdulillah kami telah Mabit di Muzdalifah dan mengambil batu untuk melempar Jumrah Ula, Wustho dan Aqoba di Mina. Rosulullah SAW bersabda dengan lisannya yang mulia, “Sesungguhnya, diadakannya thowaf di Ka’bah, Sa’i antara Shofa dan Marwa dan melempar Jumrah, adalah untuk mengingat Allah” [HR. Abu Daud].

Sahabat fillah, sebagaimana kita ketahui melempar jumrah dibagi 2 waktu, yakni pertama pada hari raya Idul Adha10 Dzulhijah melontar jumrah Aqobah saja.

Yang kedua pada hari-hari tasyriq 11, 12, 13 melontar jumrah Ula Wustho, dan Aqobah.  

Perjalanan menuju Jamarat tidak mudah dilakukan saat matahari sudah mulai terik. Sepanjang jalan dari kemah maktab  menuju Jamarat yang sangat panas menurut ukuran orang Indonesia, kami membayangkan bagaimana perjuangan nabi Ibrahim as dan Ismail as naik ke bukit ini dengan medan yang belum seenak seperti saat ini dan kondisi cuaca yang sangat panas seperti ini sambil terus mendawamkan sholawat Ibrahim dalam hati. Jaman nabi-nabi dahulu daerah ini masih batu-batu dan bukit terjal sekarang sudah jalan aspal, cone block bahkan ada terowongan sepanjang kurang lebih 3 km yang dilengkapi dengan kipas besar/blower dan eskalator datar.

Alloh SWT berfirman,”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia… [QS. Mumtahanah 4]. Salah satunya adalah berkurban.

Dalam al-qur’an  surat Ash-Shoffat disebutkan Ibrahim berkata: Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Lalu dijawab oleh anaknya “Ia menjawab: Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

Setelah keduanya mengucapkan persaksian dan menyebut nama Allah untuk melakukan penyembelihan itu.

Kemudian Ibrahim merebahkan Ismail pada keningnya, saat itu Ismail mengenakan kain gamis putih, lalu Ismail berkata kepada ayahnya,

“Hai Ayah, sesungguhnya aku tidak mempunyai pakaian untuk kain kafanku selain dari yang kukenakan ini, maka lepaskanlah kain ini agar engkau dapat mengafaniku dengannya.” Maka Ibrahim bermaksud menanggalkan baju gamis putranya itu. Tetapi tiba-tiba ada suara yang menyerunya dari arah belakang: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. [QS. Ash-Shoffat 102-105].

Seperti keluarga Ibrahim as inilah seharusnya kita mencontoh keteladanan ke-SAMAWA-an, hubungan keluarga, ketakwaan, ketawakkalan, kesabaran, kerja sama antara anak dengan orang tuanya, suami dan istrinya.

Dari Ibnu Abbas ra, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah Aqobah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah“.

Ibnu Abbas kemudian mengatakan, “Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim“.

Jabir ra berkata,”Rasulullah saw melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat” [HR. Muslim].

Dengan membaca Bismillahi Allohu Akbar rojman lisyayatin  waridhan li rohman. Kutukan bagi segala. Setan dan ridho bagi Alloh yang maha Pengasih, kami melempar satu persatu kerikil atau batu kecil ke Jamarat Ula, Wustho, Aqobah mengikuti apa sunah nabi SAW.

Tanggal 12 Duzlhijah dinihari kami sudah kembali ke Mekkah (nafar awal),  lalu istirahat sebelum melakukan Thawaf Ifadhah, Sa’i dan Tahallul. Sebagian dari kami juga berkurban di Mekkah.

Adapun tentang Hikmah hakekat yang didapat dari rangkaian Haji ini Syekh Ali Zainal Abidin bertanya, “Apakah engkau telah melewati kedua bukit Al-’Alamain, melakukan shalat dua rakaat sebelumnya, lalu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah untuk memungut batu-batu di sana, lalu melewati Masy’aral Haram?” “Ya, benar.” “Ketika shalat dua rakaat, apakah engkau meniatkannya sebagai shalat syukur, pada malam menjelang sepuluh Dzulhijjah, dengan mengharap tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala kemudahan? Ketika lewat diantara bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh kanan kiri, apakah saat itu engkau bertekad untuk tidak bergeser dari Islam; tidak dengan hatimu, lidahmu, dan semua gerak gerikmu? Ketika berangkat ke Muzdalifah, apakah engkau berniat membuang jauh segala maksiat serta bertekad untuk beramal yang diridhoi-Nya? Ketika melewati Masy’aral Haram, apakah engkau mengisyaratkan untuk bersyiar seperti orang-orang yang bertakwa kepada Allah?” “Tidak.” “Wahai Syibli, sesungguhnya engkau tidak melakukan itu semua!”

Ali Zainal ‘Abidin melanjutkan, “Ketika engkau sampai di Mina, apakah engkau yakin telah sampai di tujuan dan Tuhanmu telah memenuhi semua hajatmu? Ketika melempar Jumrah, apakah engkau meniatkan untuk melempar dan memerangi iblis, musuh besarmu? Ketika mencukur rambut (tahallul), apakah engkau bertekad untuk mencukur segala kenistaan? Ketika shalat di Masjid Khaif, apakah engkau bertekad untuk tidak takut, kecuali kepada Allah dan tidak mengharap rahmat kecuali dari-Nya semata? Ketika memotong hewan kurban, apakah engkau bertekad untuk memotong urat ketamakan; serta mengikuti teladan Ibrahim yang rela mengorbankan apapun demi Allah?

Ketika kembali ke Mekkah dan melakukan Thawaf Ifadhah, apakah engkau meniatkannya untuk berifadhah dari pusat rahmat Allah, kembali dan berserah kepada-Nya?” Dengan gemetar, Asy-Syibli menjawab, “Tidak, wahai Guru.” “Sungguh, engkau tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak bertahallul, tidak menyembelih kurban, tidak manasik, tidak shalat di Masjid Khaif, tidak Thawaf Ifadhah, tidak pula mendekat kepada Allah! Kembalilah, kembalilah!  Sesungguhnya engkau belum menunaikan hajimu!” Asy-Syibli menangis tersedu, menyesali ibadah haji yang telah dilakukannya. Sejak itu, ia giat memperdalam ilmunya, sehingga tahun berikutnya ia kembali berhaji dengan ma’rifat serta keyakinan penuh dan menjadi ulama sufi besar di jamannya.

Note : Syekh Asy-Syibli adalah seorang ulama sufi besar dari Persia yang bernama  Abu bakar bin Dulaf ibnu juhdar Asy-Syibly. Nama asy-syibli di nisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Beliau di lahirkan pada Tahun 247 H. Di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. karena kepandaian dan kedalaman ilmunya membuat karirnya menanjak pesat, ia menduduki beberapa jabatan penting selama bertahun – tahun. Antara lain : menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermaven. Abu Bakar Asy-syibly meninggalkan karir dan jabatannya, dan ia ingin bertaubat. Dalam perjalan membersihkan hatinya ia bertemu dan berguru dengan beberapa orang ulama sufi besar di jamannya antara lain Syekh Junaid Al-Baghdadi, dan Syekh Ali Zainal ‘Abidin.

Ya Allah, jadikanlah haji kami haji yang mabrur (baik dan diterima), umrah kami umrah yang mabrur, sai kami sa’i yang disyukuri, dosa kami dosa yang diampuni, amal kami amal saleh yang diterima dan perdagangan kami perdagangan yang tidak merugi, wahai Dzat Yang Maha Mengetahui apa yang ada dalam dada, keluarkanlah kami dari kezaliman menuju cahaya (keimanan).”

Aamiin ya Mujibbassailiin…(bersambung….)(***)

Mekkah, 1 Juli 2023/13 Dzulhijjah 1444 H

*Penulis adalah Pimpinan Majelis Dzikir Asyiiqi Rosululloh (#21)

Continue Reading

Trending