Connect with us

Hukum

Gagalkan Peredaran Sabu Malaysia-Bengkalis-Jakarta, Kapolda Riau: Tak Ada Ampun untuk Bandar dan Pengedar

Published

on

Kapolda Riau Irjen M Iqbal merilis pengungkapan narkoba jenis sabu di Bengkalis Riau. (Sadono)

Bengkalis, goindonesia.co: Tim Polres Bengkalis Polda Riau dan Bea Cukai menggagalkan pengiriman 30 Kg Sabu di tepi pantai desa Meskom Bengkalis. Sedikitnya 2 tersangka diringkus, yakni BUR alias Ahan dan TRIS alias Acis.

Kapolda Riau Irjen Mohammad Iqbal mengatakan mendatangi Polres Bangkalis dengan menggunakan helikopter untuk melakukan penegakan hukum terhadap peredaran narkotika.

“Saya hadir disini ingin menunjukkan keseriusan, saya sengaja terbang ke Bengkalis ini untuk menunjukkan keseriusan dalam memberantas narkoba,” ujar Iqbal dilokasi, Jumat (11/2/2022).

Menurut Iqbal, pihaknya mengantisipasi dan telah me-mapping peredaran narkoba di wilayahnya bersama Mabes.

“Saya menyampaikan apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya kepada forkopimda Kabupaten Bengkalis serta seluruh stakeholder, terus berantas narkoba. Kita tidak ingin penerus kita hancur karena narkoba,” tegasnya.

“Terimakasih kepada anggota dilapangan, saya yakin bekerja sama dengan bea cukai dan lainnya, kejar sampai dengan bandarnya, tindak tegas setegas-tegasnya kepada bandar dan pengedarnya,” tutur Iqbal.

Iqbal menegaskan dirinya tidak akan segan melaporkan kepada pimpinan Polri untuk mendapatkan reward atas prestasi anggotanya dilapangan. “Terimakasih kepada semua yang hadir disini,” katanya.

Kronologis pengungkapan, Tim bekerja setelah melakukan pengintaian selama 3 hari dari 28-30 Januari 2022 lalu.

Awalnya BUR alias Ahan ditangkap dengan barang bukti 3 karung sabu yang ditanam di dalam hutan bakau di desa Meskom Bengkalis  BUR alias Ahan mengaku dirinya disuruh oleh tersangka TRIS alias Acai menjemput barang tersebut.

Berikutnya, tim berhasil menangkap tersangka TRIS alias Acai di pusat perbelanjaan di Jakarta Utara. TRIS alias Acai mengaku memerintahkan tersangka BUR alias Ahan untuk menjemput sabu di daerah Sei Pakning Bengkalis.

Diakui oleh tersangka TRIS als Acai bahwa dirinya sudah 4 kali diperintahkan oleh Bos Malaysia yang bernama Mr. CHIU untuk mendistribusikan narkotika jenis sabu tersebut dari Bengkalis ke Jakarta dengan upah 400 juta setiap kali pengiriman, namun kali ini berhasil digagalkan.

BUR alias Ahan sendiri dijanjikan upah 80 juta dalam kegiatan pendistribusian sabu dari wilayah Desa Buruk Bakul Kabupaten Bengkalis.

Pelaku dijerat Pasal 114 Ayat (2) dan Pasal 112 Ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) UU RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara atau hukuman mati.  ((***)

Continue Reading
Advertisement Berita Vaksin Penting

Hukum

5 Orang Tersangka BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika Diperpanjang Masa Penahanannya

Published

on

Base Transceiver Station (BTS) (Dokumentasi : Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, @www.kejaksaan.go.id)

Jakarta, goindonesia.co – 5 orang tersangka yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi dalam penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1,2,3,4, dan 5 BAKTI pada Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020 s/d 2022. Dimana para tersangka yang terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut yaitu tersangka berinisial atas nama AAL, YS, GMS, MA, dan IH dilakukan perpanjangan masa penahanannya oleh Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS).

“Perpanjangan masa penahanan terhadap 5 orang Tersangka tersebut dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat penyidikan yang belum selesai sehingga perlu dilakukan perpanjangan penahanan terhadap para Tersangka tersebut.”, ujar Tim Jaksa Penyidik.

Tim Jaksa Penyidik juga menambahkan bahwasanya perpanjangan masa penahanan yang dilakukan ini sudah berdasarkan dari Penetapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri.

Tim Jaksa Penyidik juga menjelaskan bahwa ke 5 orang Tersangka yang dilakukan perpanjangan masa penahanan yaitu:

Tersangka berinisial atas nama AAL dilakukan perpanjangan masa penahanan selama 30 hari terhitung sejak 05 Maret 2023 s/d 03 April 2023 di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung, berdasarkan Penetapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 58/Tah.Pid.Sus/TPK/II/2023/PN.JKT.PST. tanggal 21 Februari 2023.

Tersangka berinisial atas nama YS dilakukan perpanjangan masa penahanan selama 30 hari terhitung sejak 05 Maret 2023 s/d 03 April 2023 di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung, berdasarkan Penetapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 53/Tah.Pid.Sus/TPK/II/2023/PN.JKT.PST. tanggal 13 Februari 2023.

Tersangka berinisial atas nama GMS dilakukan perpanjangan masa penahanan selama 30 hari terhitung sejak 05 Maret 2023 s/d 03 April 2023 di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, berdasarkan Penetapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 52/Tah.Pid.Sus/TPK/II/2023/PN.JKT.PST. tanggal 13 Februari 2023.

Tersangka berinisial atas nama MA dilakukan perpanjangan masa penahanan selama 30 hari terhitung sejak 25 Maret 2023 s/d 23 April 2023 di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung, berdasarkan Penetapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 82/Tah.Pid.Sus/TPK/III/2023/PN.JKT.PST. tanggal 03 Maret 2023.

Tersangka berinisial atas nama IH dilakukan perpanjangan masa penahanan selama 30 hari terhitung sejak 07 April 2023 s/d 06 Mei 2023 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Jakarta Timur Cabang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berdasarkan Penetapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 81/Tah.Pid.Sus/TPK/III/2023/PN.JKT.PST. tanggal 03 Maret 2023. (***)

*Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, @www.kejaksaan.go.id

Continue Reading

Hukum

KY: “Putusan PN Jakarta Pusat terkait Pemilu Kontroversial”

Published

on

Ilustrasi hukum. Ilustrasi ©2013 Merdeka.com

Jakarta, goindonesia.co– Komisi Yudisial (KY) mencermati substansi putusan PN Jakarta Pusat dan reaksi yang muncul dari putusan tersebut. Putusan tersebut pada prinsipnya menimbulkan tanda tanya dan kontroversi di tengah masyarakat.

Putusan pengadilan tidak bekerja di ruang hampa, karena ada aspirasi yang hidup di masyarakat secara sosiologis, ada aspek yuridis di mana kepatuhan terhadap UUD 1945 dan undang-undang sangatlah penting, serta pertimbangan-pertimbangan lain, seperti nilai-nilai demokrasi. Kesemua itu menjadi bagian dari yang mesti digali oleh hakim dalam membuat putusan.

Untuk itu, KY akan melakukan pendalaman terhadap putusan itu, terutama untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran perilaku yang terjadi. Salah satu bagian dari pendalaman itu bisa jadi dengan memanggil hakim untuk dimintakan klarifikasi. Apabila ada dugaan yang kuat telah terjadi pelanggaran perilaku hakim, maka KY akan melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang bersangkutan.

Namun, perlu digarisbawahi, terkait dengan substansi putusan, forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan ini adalah melalui upaya hukum. Domain KY berfokus pada aspek dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. KY juga akan berkomunikasi dengan Mahkamah Agung terkait dengan putusan ini serta aspek perilaku hakim yang terkait. (***)

(Sumber : Komisi Yudisial, @/www.komisiyudisial.go.id)

Continue Reading

Hukum

PKS dan PSI Dukung Sistem Pemilu Proporsional Terbuka

Published

on

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sistem proposional terbuka dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait, Kamis (23/02) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Jakarta, goindonesia.co– Pembentuk UU memang pernah menerapkan sistem proporsional tertutup namun kemudian berubah dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. Hal ini menguatkan bahwa penentuan mekanisme dan tata cara pemilihan adalah kewenangan pembentuk UU sebagai suatu kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Pilihan pembentuk UU menggunakan sistem proporsional terbuka kemudian dikuatkan oleh Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang mengedepankan pada suara terbanyak dengan dasar perlindungan terhadap hak asasi manusia para pemilih. Hal ini sejalan dengan pertimbangan hukum MK pada putusan 22-24/PUU-VI/2008 pada sub-paragraf (3.15.3 halaman 105).  

Hal tersebut disampaikan oleh Faudjan Muslim yang mewakili Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam sidang yang digelar pada Kamis (23/2/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi. Perkara yang menguji secara materiil Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi.

Faudjan menegaskan sistem proporsional terbuka perlu tetap dipertahankan. Sistem tersebut akan membuat adanya kedekatan antara pemilih dengan kandidat yang ditawarkan oleh partai politik. Sehingga tingkat tanggung jawab anggota legislatif terhadap konstituen akan tinggi sekaligus dapat memperkuat partisipasi dan kontrol publik. Harapannya kinerja partai dan parlemen juga semakin bisa lebih mudah dievaluasi. Hal ini karena rakyat menentukan langsung siapa yang dipilihnya. Sistem proporsional terbuka akan mendukung dinamika internal partai paling tidak mesin partai akan berjalan maksimal karena adanya kompetisi positif antar bakal calon dewan. Harapannya dinamika tersebut dapat mengajak pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu sekaligus dapat menarik dukungan untuk memilih kandidat atau partai. Apabila pilihannya tidak sesuai lagi dengan aspirasinya maka pemilih dapat mengubah pilihannya pada pemilu berikutnya.

Bersaing dengan Sehat

Faudjan menjelaskan, Para pemohon mendalilkan dalam permohonannya mendalilkan sistem proporsional terbuka menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan menitikberatkan pada aspek popularitas dan kekuatan modal dalam proses pemilihan umum. Terhadap dalil ini, Pihak Terkait menilai para pemohon terlalu pesimis karena bukan yang dianggap popular sehingga tidak dikenal di publik.

“Pada faktanya sistem proporsional terbuka dapat membuat caleg bersaing dengan sehat. Caleg popular dan memiliki elektabilitas yang baik di tengah masyarakat dapat mendekatkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pasca pemilu dan memudahkan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat,” jelas Faudjan.

Hak Recall

Faudjan selanjutnya menjelaskan mengenai hak recall yaitu hak yang melekat dan dimiliki oleh pimpinan partai, baik dalam sistem proporsional terbuka maupun tertutup. Pada sistem proporsional terbuka, implikasi dari recall adalah, pemilih sudah mengetahui siapa pengganti setelahnya yaitu calon legislatif (caleg) dengan suara terbanyak di bawahnya. Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup pengganti legislatif yang direcall merupakan kewenangan yang dimiliki partai politik. Akan tetapi pemilih tidak memiliki siapa penggantinya. Hal ini terjadi karena hak recall sendiri tidak lepas dari eksistensi partai politik. Para pemohon menganggap sistem proporsional terbuka menimbulkan individualisme para politisi sehingga menyebabkan konflik internal, kanibalisme internal partai politik sendiri. Pihak Terkait memandang, dengan sistem proporsional tertutup, pemilih tidak memiliki peran dalam menentukan siapa kandidat caleg yang dicalonkan dari partai politik.

Original Intent Pembentuk UU

Pihak Terkait berikutnya yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Diwakili oleh Anthony Winza Prabowo, PSI menegaskan dengan sistem proporsional terbuka rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih. Sehingga akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih yaitu calon yang memperoleh suara dan dukungan rakyat paling banyak.

Anthony menyebutkan original intent dari pembentuk UU adalah proporsional terbuka. “Kenapa saya katakan demikian, karena dalam pengujian materil titik beratnya bukan semata-mata hanya materi UU yang diuji namun yang lebih penting itu adalah batu ujinya sendiri. Bagaimana menafsirkan konstitusi. Makna yang tersirat dan tersurat dalam kata-kata konstitusi tersebut. Jadi, bukan hanya harus melihat legislative intent dari pembentuk UU tetapi juga perlu menggali intensi-intensi orisinil pembentuk konstitusi itu sendiri maupun amendemennya. MK sendiri telah menafsirkan konstitusi dengan menempatkan original intent sebagai faktor yang utama dalam melakukan penafsiran terhadap konstitusi,” terang Anthony.

Menurutnya, hal tersebut dapat dilihat dengan jelas dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tepatnya di halaman 106. Pada saat itu MK menyatakan MK harus menggunakan pendekatan yang rigid sejauh UUD 1945 telah mengatur secara jelas kewenangan atributif masing-masing lembaga tersebut. Dalam hal MK terpaksa harus melakukan penafsiran atas ketentuan yang mengatur sebuah lembaga negara, maka MK harus menerapkan penafsiran original intent tekstual, dan gramatikal yang komprehensif yang tidak boleh menyimpang dari apa yang secara jelas tersurat dalam UUD 1945.

“Jadi, penempatan original intent mendahului tekstual lalu kemudian mendahului gramatikal itu adalah yudikatif intent dari MK untuk menyatakan original intent ini memiliki prioritas tertinggi dalam metode menafsirkan,” tegasnya.

Pemilu Sehat

M. Sholeh selaku Pihak Terkait dalam persidangan mengatakan sistem proporsional terbuka menjadikan pemilu menjadi sehat, sebab para caleg jauh sebelum pemilu berlangsung sudah mendekati warga. Berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang mana para caleg tidak akan melakukan kerja-kerja politik mendekati warga. Sehingga tidak ada kompetisi dan tidak ada para caleg menyampaikan gagasan maupun program dan mencari simpati warga.

“Banyak caleg yang bukan bermodal besar tetapi bisa berhasil lolos parlemen, misalnya caleg PDIP Johan Budi mantan Komisioner KPK, uang dari mana dia, nyatanya dia bisa terpilih, bisa mengalahkan incumbent Budiman Sujatmiko. Incumbent aja bisa kalah di dapilnya dengan caleg-caleg baru yang memang di situ mau turun ke masyarakat dan sudah punya modal sosialnya tinggi,” ungkap M. Sholeh saat membantah dalil pemohon yang menyatakan caleg harus kaya.

Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.

Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks.

Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.

Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat. (***)

(Sumber : HUMAS MKRI, @www.mkri.id)

Continue Reading

Trending