Connect with us

Health

Kasus Covid tembus 57.000 dalam sehari, pemerintah diperingatkan “jangan terlalu percaya diri”

Published

on

Sejumlah petugas bersiap memakamkan jenazah pasien COVID-19 di TPU Rorotan, Jakarta, Kamis (10/2/2022) ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT/NZ

Lapor Covid-19 memperingatkan pemerintah agar “tidak terlalu percaya diri” dengan situasi pandemi belakangan ini, karena perkembangan gelombang omicron belum bisa diperkirakan.

Jakarta, goindonesia.co – Peringatan ini disampaikan di tengah pernyataan Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan yang berencana melakukan “pelonggaran-pelonggaran” kebijakan “dengan monitoring yang ketat.”

Lapor Covid-19 juga mengatakan pemerintah perlu memperkuat kebijakan kongkret seperti meningkatkan testing dan tracing serta perlindungan tenaga kesehatan

Di lapangan, seorang tenaga kesehatan yang dikontak BBC News Indonesia mulai mengeluhkan beban kerja karena di tempatnya bekerja tenaga kesehatan yang terinfeksi Covid-19 sudah mencapai 50%.

Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat rasio perawat dengan pasien sudah naik dua kali lipat di rumah sakit rumah sakit utama Jakarta.

Sementara itu, ahli kesehatan meminta pemerintah tak menganggap enteng jumlah kasus kematian, dan menyerukan adanya audit kematian.

Sampai Selasa (15/02), data resmi menunjukkan jumlah kasus mencapai 57.049 dan kasus meninggal tercatat 134.

Melani – bukan nama sebenarnya – mulai menghadapi penambahan beban kerja di salah satu RSUD di Jakarta Timur. Ia mengatakan, di fasilitas kesehatan tempatnya bekerja, setengah tenaga kesehatannya terinfeksi Covid-19.

Dalam satu kali sif kerja, awalnya ia merawat satu sampai dua pasien, namun belakangan ini harus melayani hingga 10 pasien Covid.

“Sejauh ini bed [ranjang] kita itu selalu terisi. [Pasien] terus-terusan ada,” katanya.

Pemulasaran bagi pasien Covid-19 yang tak mampu bertahan juga meningkat.

“Ada terus pemulasaran Covid, dan tiap hari pun kita merujuk pasien Covid yang sudah sangat berat, yang nggak bisa isoman. Tiap hari pasti ada,” katanya. Setiap pasien bisa menunggu hingga seharian untuk mendapat rujukan ke rumah sakit utama, tambahnya.

Situasi ini mengingatkannya kembali pada saat gelombang delta menghantam fasilitas kesehatan tahun lalu.

Situasi saat ini ia sebut “bakalan meledak deh nantinya” jika penanganan Covid dengan kasus omicron dilakukan tanpa strategi khusus.

“Itu masih terngiang-ngiang aja di saya. Mau membantu yang mana duluan, yang angka kehidupannya itu masih tinggi. Dengan posisi tenaga nggak ada.

“Menurut saya itu dilema. Kayak nangis sendiri. Mau nolongin orang nanggung-nanggung, sementara saya harus menjaga diri saya seperti apa,” kata Melani yang saat itu juga bertugas sebagai pembungkus jenazah pasien Covid.

“Cemasnya tuh berlebih banget jadinya, kayak nanti kan mau jelang puasa apalagi. Kayaknya bakal naik banget nih. Bakalan meledak deh nantinya.”

Beban perawat bertambah

Situasi ini diakui oleh Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Ketua Umum PPNI, Harif Fadillah yang mengatakan beban kerja perawat di sejumlah rumah sakit utama di Jakarta mulai meningkat.

Rasio antara perawat dengan pasien meningkat dua kali lipat, khususnya di UGD.

“Itu biasanya satu perawat mengawasi enam sampai delapan [pasien], karena kondisi banyak yang masuk juga, maka ia tenaga belum bisa menambah, itu mereka ada kalanya, melonggarkan rasio jadi satu orang [perawat] mengawasi 12-13 orang pasien,” kata Harif.

Ia juga mencatat sejak Januari lalu, jumlah perawat yang melaporkan terkonfirmasi Covid-19 hingga 15 Februari sebanyak 275 perawat. Tapi ia meyakini jumlah sebenarnya jauh lebih besar, “karena belum [semua perawat] melaporkan di sistem.”

Positivity rate nakes versi pemerintah

Berdasarkan keterangan Kementerian Kesehatan jumlah tenaga kesehatan di Jakarta yang terinfeksi Covid-19 sudah lebih dari 30%.

Rinciannya, RS Ketergantungan Obat sebanyak 63%, RSUP Fatmawati 41%, RSPI Sulianti Saroso 40%, dan RS Jantung Harapan Kita 39%, seperti dikutip dari Antara.

Namun, belakangan data ini diralat Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Profesor Abdul Kadir. “Karena jumlah nakes yang diperiksa [saat itu] jumlahnya masih sedikit.

Tapi pada akhir-akhir ini jumlahnya sudah hampir 90% [yang diperiksa], ternyata positivity rate-nya itu di bawah 10%,” katanya seperti disampaikan dalam laman YouTube Kemenkes Indonesia.

Ia juga mengatakan sejauh ini belum menerima laporan tenaga kesehatan yang meninggal akibat Covid-19.

“Bahwa teman-teman kita yang masuk dalam tenaga kesehatan ini, mereka itu sudah mendapatkan vaksinasi booster sampai tiga kali. Jadi memang mereka itu, ibaratnya siap tempur karena imunitas mereka itu sudah terjaga,” kata Prof Abdul Kadir.

‘Nggak perlu dikhawatirkan berlebihan’

Kondisi ini terjadi di tengah pernyataan pers Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan atas apa yang ia sebut “Nggak perlu ada yang dikhawatirkan berlebihan.”

“Kalau memang dia sudah divaksin, sudah dua kali, sudah booster, tidak ada komorbit, ya jalan-jalan saja,” kata Luhut dalam keterangannya kepada media.

Hal ini dikatakannya berdasarkan klaim angka kematian kasus Covid sejauh ini didominasi dari pasien belum mendapatkan vaksin, atau baru mendapat dosis pertama, memiliki komorbit dan dari kategori lansia.

Luhut juga membandingkan angka kematian saat varian delta rata-rata 1000 kasus per hari, dengan varian omicron per 14 Januari 2022 tercatat 145 kasus kematian.

“Nggak perlu ada yang dikhawatirkan berlebihan. Kita belum ada lihat, untuk ada pengetatan lagi, tidak. Justru kita ada pelonggaran-pelonggaran yang kita lakukan tetap dengan monitoring yang ketat,” tambah Luhut.

Sejauh ini pelonggaran kebijakan yang telah ditetapkan adalah mengurangi masa karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri. Semula lima hari dipangkas menjadi tiga hari mulai awal Maret 2022.

Syarat ini berlaku bagi mereka yang sudah mendapat vaksin ketiga, dan tetap menjalani tes PCR di hari ketiga karantina.

Kasus melonjak lagi

Pelonggaran-pelonggaran kebijakan ini juga berdasarkan kasus harian yang turun beberapa hari terakhir, yaitu 55.209 kasus (12 Februari) turun menjadi 44.526 (13 Februari) lalu turun lagi menjadi 36.501 kasus (14 Februari).

Namun, data terbaru yaitu 15 Februari menunjukkan lonjakan lagi menjadi 57.049 kasus.

Sementara, angka kematian memiliki kecenderungan tren peningkatan dalam satu bulan terakhir. Per 15 Februari angka kematian harian tercatat 134 kasus, dibandingkan Januari di tanggal yang sama hanya tercatat empat kasus harian kematian.

‘Jangan terlalu percaya diri’

Sejauh ini, angka kematian yang dilaporkan pemerintah adalah pasien yang terkonfirmasi Covid-19. Sementara mereka yang meninggal dengan gejala berat Covid tidak masuk hitungan. Pencatatannya juga terjadi perbedaan antara pemerintah pusat dan daerah.

Koordinator Advokasi Lapor Covid-19, Firdaus Ferdiansyah meyakini data kematian pemerintah tidak menggambarkan apa yang terjadi di lapangan.

“Karena kalau berdasarkan laporan di lapangan itu ada kasus tidak dilaporkan, ketika tidak dilaporkan, tidak ditangani,” kata Firdaus.

Ia juga memperingatkan agar pemerintah “hati-hati, jangan terlalu percaya diri”, karena situasi varian omicron masih belum bisa diprediksi.

Pemerintah, kata dia, harus belajar dari gelombang delta di mana semestinya menguatkan kebijakan-kebijakan yang “konkret”, seperti penguatan testing dan tracing, perlindungan tenaga kesehatan, penanganan medis bagi masyarakat yang melakukan isolasi mandiri, serta memperkuat kapasitas tenaga di tingkat puskesmas.

“Jangan menjadikan pandemi ini kayak kejadian [kemarin], pasti akan telat, tetapi kan kita bisa mengambil lesson learn,” kata Firdaus.

Sejauh ini, yang dilakukan pemerintah, lanjut Firdaus, justru membuat narasi yang dapat membuat masyarakat meremehkan pandemi.

“Akhirnya, mau mencoba memutarbalikan narasinya bahwa omicron lebih ringan, jadi jangan takut,” katanya.

Tunggu angka rata-rata mingguan

Menurut Prof Tjandra Yoga Aditama, angka harian ini belum menggambarkan situasi pandemi.

Direktur pascasarjana Universitas YARSI dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini mengatakan, pelonggaran kebijakan tak bisa dilakukan dengan melihat angka kasus harian, tapi bisa dipertimbangkan, “Kalau angka mingguan melandai, menurun,” katanya.

Penghitungan angka kasus per minggu ini yang umum dilakukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk melihat tren kasus, dan kebijakan yang perlu diambil.

Di samping itu, Prof Tjandra menyoroti angka kasus kematian harian yang meningkat semula di bawah 10 menjadi lebih dari 100 dalam satu pekan terakhir. Ia berharap angka kematian ini tidak dipandang sebelah mata.

“Benar, jumlah yang meninggal jauh lebih kecil dari pada waktu delta kasusnya 50.000, yang meninggal 2.000. Tapi itu kan nyawa orang, nggak bisa nyawa orang itu dikatakan dulu kan 2.000 sekarang 100. Itu rasanya tidak terlalu fair juga,” kata Prof Tjandra.

Menurutnya pemerintah perlu melakukan audit serta membuka data rinci terkait kematian yang disebut didominasi oleh pasien yang belum vaksin lengkap, komorbit atau lanjut usia.

Sejauh ini, Prof Tjandra memperkirakan penyebab kasus kematian Covid dibagi menjadi tiga; karena virus, covid yang diperburuk komorbit, dan meninggal “karena komorbitnya, bukan covidnya”.

Ia juga meminta agar pemerintah memetakan di mana pasien meninggal. Hal ini untuk menganalisa tentang apa yang terjadi dengan sistem kesehatan, ketika pasien meninggal justru sedang melakukan isoman.

Melalui audit kematian ini diharapkan bisa dilakukan upaya-upaya “untuk menekan angka kematian ini”.

“Bukan hanya angkanya, tapi satu nyawa berharga,” kata Prof Tjandra. (***)

Continue Reading
Advertisement Berita Vaksin Penting

Kesehatan

Tidak Ada Efek Samping Akibat Vaksin COVID-19 di Indonesia

Published

on

Ilustrasi vaksin COVID-19 (Foto : @sehatnegeriku.kemkes.go.id)

Jakarta, goindonesia.co – Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof. Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan, tidak ada kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia atau thrombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) setelah pemakaian vaksin COVID-19 AstraZeneca di Indonesia. Hal ini berdasarkan surveilans aktif dan pasif yang sampai saat ini masih dilakukan oleh Komnas KIPI.

“Keamanan dan manfaat sebuah vaksin sudah melalui berbagai tahapan uji klinis, mulaiuji klini tahap 1, 2, 3 dan 4 termasuk vaksin COVID-19 yang melibatkan jutaan orang, sampai dikeluarkannya izin edar. Dan pemantauan terhadap keamanan vaksin masih terus dilakukan setelah vaksin beredar” kata Prof Hinky.

Sesuai rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), Komnas KIPI bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BPOM melakukan surveilans aktif terhadap berbagai macam gejala atau penyakit yang dicurigai ada keterkaitan dengan vaksin COVID-19 termasuk TTS. Survei dilakukan di 14 rumah sakit di 7 provinsi yang memenuhi kriteria selama lebih dari satu tahun.

“Selama setahun, bahkan lebih, kami amati dari Maret 2021 sampai Juli 2022. Kami lanjutkan lebih dari setahun karena tidak ada gejalanya, jadi kami lanjutkan beberapa bulan untuk juga supaya memenuhi kebutuhan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk menyatakan ada atau tidak ada keterkaitan. Sampai kami perpanjang juga tidak ada TTS pada AstraZeneca,” jelas Prof Hinky.

“Jadi, kami melaporkan pada waktu itu tidak ada kasus TTS terkait vaksin COVID-19,” lanjut Prof Hinky.

Indonesia merupakan negara dengan peringkat keempat terbesar di dunia yang melakukan vaksinasi COVID-19. Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Setelah surveilans aktif selesai, Komnas KIPI tetap melakukan surveilans pasif hingga hari ini. Berdasarkan laporan yang masuk, tidak ditemukan laporan kasus TTS.

TTS merupakan penyakit yang menyebabkan penderita mengalami pembekuan darah serta trombosit darah yang rendah. Kasusnya sangat jarang terjadi di masyarakat, tapi bisa menyebabkan gejala yang serius.

“Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) bila ditemukan penyakit atau gejala antara 4 sampai 42 hari setelah vaksin disuntikkan. Kalaupun saat ini ditemukan kasus TTS di Indonesia, ya pasti bukan karena vaksin COVID-19 karena sudah lewat rentang waktu kejadianya,” jelas Prof Hinky.

“Namanya trombosis, pembuluh darah membeku. Kalau terjadi di otak muncul gejala pusing, di saluran cerna mual, di kaki pegel. Kalau jumlah trombositnya menurun, ada perdarahan, biru biru di tempat suntikan, ya, itu terjadi, tapi 4-42 hari setelah vaksin. Kalau sekarang terjadi, ya, kemungkinan besar terjadi karena penyebab lain, bukan karena vaksin,” kata Prof Hinky.

Masyarakat juga masih bisa melaporkan kejadian ikutan pasca-imunisasi atau KIPI kepada Komnas KIPI melalui puskesmas terdekat. “Puskesmas sudah terlatih, akan dilakukan investigasi, anamnesis, dan rujukan ke RS untuk akhirnya dikaji Pokja KIPI dan dikeluarkan rekomendasi berdasarkan bukti yang ada,” jelasnya. (***)

*Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI

Continue Reading

Kesehatan

Cegah Kanker Serviks: Kolaborasi Bio Farma dan IHC RS Pelabuhan Cirebon Kenalkan CerviScan

Published

on

Grand launching deteksi Ca Cervix dengan Metode PCR HPV-DNA (Sampel Urine) & Vaksin Ca Cervix di Hotel Prima, Kota Cirebon (02/11). (Dokumentasi : @www.biofarma.co.id)

Cirebon, goindonesia.co – Bio Farma bersama IHC RS Pelabuhan Cirebon berkolaborasi cegah kanker serviks dengan memperkenalkan kit diagnostik deteksi dini melalui pemeriksaan urine dengan metode PCR HPV-DNA di Hotel Prima, Kota Cirebon. Acara tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran bahaya kanker serviks dan pentingnya melakukan deteksi dini. 

Direktur Medis dan Hubungan Kelembagaan Bio Farma, Sri Harsi Teteki mengatakan bahwa kanker serviks sangat berbahaya bagi perempuan karena sering ditemukan pada stadium lanjut sehingga pengobatannya terlambat.

“Kanker serviks sangat berbahaya bagi perempuan, seperti kita ketahui kanker serviks menempati urutan kedua terbanyak setelah kanker payudara. Kanker serviks sering kali ditemukan pada stadium lanjut karena tidak adanya gejala pada stadium awal kanker serviks.” ujar Sri Harsi Teteki.

“Sebab itu, pentingnya bagi perempuan untuk melakukan deteksi dini, karena Kanker serviks dapat terdeteksi dengan kita rutin melakukan deteksi dini, lebih awal ditemukan akan memberikan harapan hidup lebih baik.” tambahnya.

Wakil Wali Kota Cirebon, Dra. Hj. Eti Herawati, M.A.P. mengungkapkan dirinya sangat berterima kasih karena diagnostik kit ini memenuhi kebutuhan perempuan dalam melakukan deteksi dini dengan nyaman.

“Atas nama Pemerintah Kota Cirebon, saya mengucapkan terima kasih atas kolaborasi yang terjadi, diagnostik kit ini merupakan jawaban atas kebutuhan perempuan untuk melakukan deteksi dini dengan nyaman.” ungkap Eti Herawati.

“Saya juga berharap dengan adanya kit diagnostik ini kedepannya dapat meningkatkan kesadaran tentang bahaya kanker serviks dan pentingnya melakukan deteksi dini bagi masyarakat khususnya Cirebon.” tambah Eti.

Masih tingginya kasus kanker serviks di Indonesia disebabkan karena rendahnya kesadaran perempuan untuk melakukan deteksi dini dikarenakan merasa takut dan malu.

Kanker serviks juga termasuk penyakit yang disebut sebagai “Silent killer” karena tidak adanya gejala pada stadium awal kanker serviks. Hampir semua kasus kanker serviks (lebih dari 95%) disebabkan oleh infeksi human papillomavirus (HPV) risiko tinggi.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon, Dr. Hj. Siti Maria Listiawaty, MM mengatakan dengan adanya kit diagnostik yang lebih nyaman dan efektif ini dapat memberikan kesadaran bagi masyarakat dalam mencegah kanker serviks.

“Dengan adanya metode yang lebih efektif dan nyaman ini, saya berharap masyarakat akan lebih sadar tentang bahayanya kanker serviks, masyarakat juga tidak perlu takut dan malu lagi untuk melakukan pemeriksaan karena metode yang digunakan adalah mengambil sampel urine.” ungkap Siti Maria.

Karena itu, Maria berharap dengan alat deteksi dini terhadap Human Papillomavirus (HPV) penyebab kanker serviks yang dihadirkan Bio Farma, tidak ada lagi kendala melakukan deteksi dini karena lebih praktis dan nyaman. (***)

*Bio Farma, @www.biofarma.co.id

Continue Reading

Kesehatan

Kemenkes Kolaborasi Dengan Kaukus DPR RI, Luncurkan KOBAR Lawan Dengue

Published

on

Wakil Menteri Kesehatan, Prof. Dante Saksono Harbuwono (Dokumentasi : @sehatnegeriku.kemkes.go.id)

Jakarta, goindonesia.co – Kementerian Kesehatan bersama Kaukus Kesehatan DPR RI deklarasikan kolaborasi bersama melawan penyakit demam berdarah (dengue) di Indonesia. Kolaborasi yang diberi nama KOBAR Lawan Dengue ini diluncurkan pada Jumat, 8 September 2023 di DPR RI, Jakarta.

Wakil Menteri Kesehatan, Prof. Dante Saksono Harbuwono mengatakan koalisi bersama lawan dengue merupakan gabungan dari seluruh stakeholder di tingkat pusat dan daerah. Dengan tujuan untuk mempercepat target bersama mencapai nol kematian akibat dengue di tahun 2030 (zero dengue death by 2030).

Percepatan dilakukan mengingat karakteristik penularan nyamuk dengue telah berubah. Jika dulunya nyamuk dengue lebih banyak ditemui saat musim hujan, maka kini apapun musimnya nyamuk dengue tetap bisa ditemukan. Perubahan inilah yang menyebabkan kasus dengue di Indonesia terus meningkat setiap tahun.

“Sepanjang tahun apapun musimnya dengue itu ada. Kita lihat angka-angkanya juga semakin meningkat. Angka kejadiannya sekitar 25.000/100.000 penduduk di tahun 2012 menjadi 52.000/100.000 penduduk di tahun 2022,” kata Wamenkes.

Wamenkes mengungkapkan kenaikan ini tidak hanya terjadi pada kasus dengue, tapi juga terjadi pada kasus kematian. Tercatat, di tahun 2018 case fatality rate sebesar 0,71% meningkat jadi 0,86% di tahun 2022.

Mengantisipasi terjadinya kenaikan kasus yang lebih tinggi, pemerintah telah menggalakkan gerakan Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik (G1R1J). G1R1J merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk mengendalikan penyakit vektor di lingkungan rumahnya sendiri.

“Melalui program ini, masyarakat diajak untuk meluangkan waktu 1 menit di jam 10 pagi selama 10 minggu berturut-turut. Jadi program ini pada prinsipnya dari masyarakat untuk masyarakat,” terang Wamenkes.

G1R1J, lanjut Wamenkes, akan diperkuat dengan inovasi pencegahan dan pengendalian dengue seperti vaksin dengue yang telah terbukti efektif dan efisien dalam mencegah DBD. Saat ini terdapat dua jenis vaksin dengue yang sudah mendapat izin penggunaan dari Badan POM dan telah beredar di masyarakat. Dua vaksin tersebut yakni vaksin Dengvaxia dan vaksin Qdenga.

Upaya antisipatif lainnya yang juga digalakkan oleh pemerintah adalah memberantas dengue dengan memandulkan nyamuk aedes aegypti menggunakan nyamuk Wolbachia.

Wamenkes menegaskan, upaya penanggulangan dengue tersebut tidak hanya mengandalkan kemampuan pemerintah saja, melainkan harus dilakukan bersama-sama dengan melibatkan semua pihak sesuai dengan kekuatan di bidangnya masing-masing.

“Belajar dari kasus COVID-19, maka ini tidak mungkin jadi program eksklusif Kemenkes saja, melainkan menjadi program inklusif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat termasuk Kaukus Kesehatan DPR RI,” ujar Wamenkes.

“Terima kasih atas kolaborasi yang mesra antara pemerintah dan DPR RI. Mudah-mudahan target nol kematian akibat dengue di tahun 2030 tercapai. Saya berharap kolaisi ini bisa melakukan aksi nyata bukan hanya slogan semata,” lanjut Wamenkes.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Kaukus Kesehatan DPR RI sekaligus anggota Komisi IX DPR RI, Suir Syam, mengatakan merupakan salah satu program prioritas dalam RPJMN tahun 2020-2024.

Ia pun sepakat bahwa Penanggulangan dengue membutuhkan kolaborasi bersama dengan melibatkan lintas sektor guna mempercepat tercapainya target nol kematian akibat dengue di tahun 2023.

Menyadari hal tersebut, guna memastikan pencapaian tujuan tersebut, serta dibutuhkannya percepatan penanggulangan dengue sebagai ancaman kesehatan masyarakat di Indonesia, maka Kaukus Kesehatan DPR RI bersama dengan Kementerian Kesehatan sepakat meluncurkan Koalisi Bersama Lawan Dengue (KOBAR Lawan Dengue) untuk menggalang dukungan bersama dan mengukuhkan komitmen peserta dalam menanggulangi dengue di Indonesia.

“Kami memakai koalisi bersama ini dengan nama KOBAR Lawan Dengue adalah untuk menggalang dukungan dalam menanggulangi dengue di Indonesia. Kami percaya bahwa peluncuran KOBAR lawan dengue menjadi upaya startegis pemenuhan tanggung jawab Negara terhadap target global dalam membaca nol kematian akibat dengue di tahun 20230,” harap Suir Syam. (***)

*Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI

Continue Reading

Trending