Connect with us

Opini

Duduk Perkara Luhut Ketua Dewan SDA Nasional

Published

on

Foto : Istimewa

Oleh Imam Mustofa

Jakarta, goindonesia.co – Tuan Panjaitan tambah jabatan. Kali ini menjadi ketua dewan, Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN). Presiden Jokowi telah meneken Peraturan Presiden Nomor 53 Tentang Dewan Sumber Daya Air Nasional dan menunjuk Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) sebagai ketuanya.

Penunjukan itu menambah panjang deretan jabatan yang diemban Luhut sebagai Menko Marves. Ada yang acungkan jempol dan banyak pula yang mengkritik. Politisi PDIP Hendrawan Supratikno memuji kemapuan Luhut dalam melakukan penyisiran hambatan (debottlenecking) atas program-progran pemerintah. Maka Luhut dipercaya dan diandalkan oleh presiden.

Kritik umumnya terkait kekesuaian penunjukan itu dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kementeriannya.  Kritik lain terkait batas kemampuan dan rentang kendali yang efektif atas beban yang over load. Juga soal gaya menajerial Presiden Jokowi yang sepertinya mengandalkan satu figure itu. Fadli Zon  pun menyidir dengan isitilah “menkosaurus” alias menteri segala urusan (news.detik.com 10/4/22).

Bukan hanya politisi, sosiolog Uiversitas Negeri Jakarta Robertus Robet pun melontarkan kritik (Kompas.com 12/04/2022). Menurutnya, pendelegasian sejumlah tugas kepada Luhut tidak mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik.   Penumpukan tugas dan wewenang yang demikian banyak kepada satu orang menunjukkan pembagian tugas dan fungsi yang tidak seimbang di pemerintahan Presiden Jokowi. Seolah-olah hanya ada sosok Luhut satu-satunya pilihan pejabat yang bisa menangani berbagai persoalan.

Kontroversi dan sorotan media luar biasa. DSDAN menjadi tenar. Sayangnya masih sedikit informasi diketahui publik.

Apakah DSDAN itu? Bagaimanakah duduk perkaranya sehingga Luhut ditunjuk menjadi ketua? Kewenangan Benarkah Kemenko Perekonomian direduksi? Pertanda menurunnya kepercayaan Jokowi kepada Airlangga Hartarto? Benarkah jabatan baru Luhut ini di luar tugas dan fungsi Menko Marives? Apa urgensi dan arti strategis Perpres tersebut bagi pengelolaan SDA?

Sekilas DSDAN

DSDAN sebenarnya itu bukan lembaga baru. Lembaga non strukutral ini sudah ada sejak 2009. Susunan keanggotaannya yang ditetapkan dengan Keppres pun sudah berganti tiga kali. DSDAN dibentuk pertama kalinya dengan Perpres nomor 12 Tahun 2008 sebagai pelaksanaan mandat UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air.

Setelah UU 7/2004 tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2015, keberadaan DSDAN sempat vakum dan diaggap dengan sendirinya bubar karena undang-undang yang memandatannya tidak ada lagi. Namun karena keberadaannya dipandang penting sebagai wadah koordinasi dalam mengatasi kompleksitas permasalahan SDA, DSDAN dibentuk kembali dengan Perpres 10/2017. Dengan Perpres tersebut DSDAN direvitalisasi, dan eksis sampai hari ini.

Pada tahun 2019 terbit UU Nomor 17/2019, yakni UU SDA yang baru. Pasal 65 UU tersebut memandatkan kembali pembentukan DSDAN sebagai wadah koordinasi pengelolaan SDA. Perpres 53/2022 yang diteken Jokowi 6 April tempo hari adalah pelaksanaan perintah UU tersebut. Dengan Perpres tersebut, legitimasi DSDAN menjadi kuat lagi karena tidak dibentuk dengan Perpres yang semata-mata didasarkan pada kekuasaan presiden,namun atas dasar mandat undang-undang.

Ditegaskan dalam Perpres, DSDAN berkedudukan dan bertanggungjawab langsung kepada presiden. Sebagai wadah koordinasi, di antara sebagian tugasnya adalah memberikan rekmendasi kepada presiden terkait kebijakan pengelolaan SDA serta memberikan pertimbangan penanganan isu strategis bidang sumber daya air.

Dewan ini terdiri dari dua kelompok anggota, yakni unsur pemerintah dan non pemerintah. Unsur pemerintah adalah 15 Menteri, 3 kepala lembaga (BMKG, BNPB, BRIN) dan 6 gubernur yang mewakili wilayah timur, tengah dan barat. Sedangkan   sejumlah anggota unsur non pemerintah mewakili berbagai kepentingan terkait air, mulai dari irigasi, air minum, perikanan, industri, pegiat konservasi dan sebagainya.

Pergantian Ketua

Sejak awal keberadaannya DSDAN dipimpin oleh Menko Perekonomian sebagai ketua. Sebelum Airlangga Hartarto dewan ini pernah dipimpin Hatta Rajasa, Sofyan Jalil, Chaerul Tanjung, dan Darmin Nasution. Baru dalam Perpres yang terakhir jabatan ketua dialihkan dari tangan Menko Perekonomian ke Menko Marves.

Akuisisi sebagian kewenangan Airlangga Hartarto ke Luhut? Mungkin saja ada yang mengembangkan spekulasi politik seperti itu. Tetapi jika dirunut secara cermat, jabatan sebagai ketua DSDAN justru sebenarnya konsisten dengan tugas dan fungsi Kemenko Marves.

Sebagaimana diatur UU, hal ihwal pengelolaan SDA menjadi bagian dari tugas dan fungsi Kementerian PUPR yang dalamnya ada Direktorat Jenderal SDA. Di era pemerintahan sebelumnya, Kementerian PUPR berada di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian. Juga selama pemeritahan Presiden Jokowi periode pertama. Hal ini jelas sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Dalam kaitan itu, urusan SDA yang nota bene dalam lingkup Kementerian PUPR secara tradisi jelas menjadi bagian dari tugas koordinasi Kemenko Perekonomian. Maka DSDAN yang secara normatif perlu dipimpin oleh seorang Menko, sewajarnya diketuai oleh Menko Perekonomian.

Semenjak periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, Kementerian PUPR pindah tempat ke dalam koordinasi Kemenko Marinves. Hal tersebut tertuang dalam Perpres 71 Tahun 2019 (kemudian diubah dengan Perpres 92 Tahun 2019) tentang Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Perpindahan kementerian PUPR dari Kemenko Perekonomian ke Kemenko Maritim (nama pada awalnya) sebenarnya sudah diusulkan sejak 2015 oleh Rizal Ramli yang menjabat Menko waktu itu. Baru pada 2019 PUPR benar-benar dipindah. Praktis sejak awal  periode kedua pemerintahan Jokowi urusan SDA Bersama gerbong kementerian PUPR  berpindah pula ke bawah koordinasi Kemenko Marinves.

Konsekuensi logis, jabatan Ketua DSDAN juga beralih ke Kemenko Marinves. Dengan kata lain, pergantian posisi ketua DSDAN hanyalah penyesuaian administratif. Ketua DSDAN adalah ex-officio terkait tugas fungsi koordinasi koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan yang berada di bawah suatu kementerian koordinator, dan bukan persoalan politik antara Menteri Airlangga Hartarto dan Menteri Luhut Binsar Panjaitan.

Perlu dicatat pula, bahwa Luhut bukanlah orang yang sama sekali baru di DSDAN. Pada Perpres sebelumnya (nomor 10/2017), Menko Marves sudah menempati posisi sebagai wakil ketua. Sedangkan pada Perpres yang baru, posisi Airlangga juga tidak dieliminasi. Hanya tukar posisi, Menko Perekonomian tetap ada sebagai wakil ketua.

Strategis

Air itu zat ultra esensial dan vital bagi hidup dan seluruh aspek kehidupan. Tidak ada hidup dan kehidupan tanpa air. Nilai penting dan strategis DSDAN itu berbanding lurus dengan nilai strategis dan pentingnya air. Itulah sebabnya ketika banyak lembaga non struktural lainnya dibubarkan, DSDAN tidak tergoyahkan. Bahkan kini legitimasinya diperkuat lagi dengan dimandatkannya kembali DSDAN dalam UU SDA yang baru.

Setara nilai strategis dan legitimasinya, tantangan yang harus dimenangkannya juga tidak mudah.  Sebab walaupun Indonesia memiliki berkah air yang sangat berlimpah, tantangan pengelolaannya juga besar dengan spektrum sangat luas dan beragam.  

Air dibutuhkan dan diperebutkan oleh semua sector. Maka tak terelakkan konflik antar penggunaan semakin meningkat. Di sisi lain kemampuan penyediaan air dan sarana prasarana untuk memenuhi kebutuhan air minum, irigasi, industri maupun kebutuhan lainnya masih terbatas. Sebagai contoh, akses air minum aman bagi rakyat yang nota bene hak asasi teryata masih sangat redah (hasil studi tahun 2020 baru 11,9). Soal iirigasi, dari 7,1  juta hektar lahan sawah penunjang ketahanan pangan baru 12 sekitar persen yang airnya terjamin oleh waduk (target 17,43 persen pada 2024).

Sementara itu berkah hujan terbuang percuma ke laut dan sering menjadi masalah. Banjir dan kekeringan silih berganti menjadi bencana musiman. Air menjadi penyebab terbesar bencana. Menurut BNPB, 95 persen bencana yang terjadi di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi yang berarti terkait dengan air.

Selain itu tentu ada pula masalah konservasi. Mulai dari degradasi hutan dan lahan, mata air yang hilang, situ yang mengering, air tanah yang menyusut, hingga sungai dan danau yang tercemar berat.

Kerumitan urusan air berjalin kelindan dengan seluruh sektor lainnya seperti, pertanian, industri, kesejahteraan rakyat, kehutanan, lingkungan hidup, pemukiman, kesehatan hingga bencana. Kompleksitas itu memerlukan tata kelola yang melibatkan banyak sekali kementerian dan lembaga di pemerintah pusat maupun daerah, termasuk masyarakat sebagai stake holder yang memiliki hak dan kewajiban terkait air.

Dalam konteks inilah DSDAN mendapati relevansi strategisnya untuk terlaksananya koordinasi yang efektif antar pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun non pemerintah yang mewakili berbagai interest di masyarakat. Terbitnya Perpres 53 ini layak dipandang sebagai kehendak politik presiden untuk segera terwujudnya rajutan koordinasi yang memanifes dalam kolaborasi pengelolaan SDA yang sinergis.

Kinerja dan peran DSDAN ini sejauh ini memang masih harus ditingkatkan. Dengan ketua baru yang secara personal high profile, semoga juga profil DSDAN semakin terdongkrak eksisitensi, kinerja dan perannya dalam koordinasi pengelolaan SDA mewujudkan visi ketahanan air. (***)

*Imam Mustofa, anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional unsur non pemerintah dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

Opini

Presiden Wow!

Published

on

Foto -@gambareza-

Oleh: Dahlan Iskan

Wow! Wow! Wow!

Jakarta, goindonesia.co – Begitu drastis keputusan Presiden Jokowi kemarin sore: melarang total ekspor bahan baku minyak goreng. Termasuk minyak gorengnya sendiri. Mulai berlakunya Kamis tanggal 28 April 2022. Sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian.

Itu keputusan sapu jagat.

Presiden tidak bicara lagi DMO. Tidak juga PMO. Tidak juga HET. Domestic Market Obligation terbukti tidak mempan memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.

Price Market Obligation terbukti tidak mampu mengendalikan harga. Ketentuan Harga Eceran Tertinggi diabaikan pasar.

Yang berlaku selama tiga bulan terakhir adalah harga pasar. Murni. Bahkan harga pasar internasional. Persaingan bebas.

Akhirnya diambillah keputusan sapu jagat: larang total ekspor. Tidak ada pertimbangan apa pun, kecuali “sampai ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah”.

Kata yang harus dicatat adalah: melimpah. Bukan sekadar cukup.

Ukuran melimpah tentu relatif. Maka saya menyumbangkan ukuran yang terukur: sampai harga minyak goreng kembali ke harga tiga bulan lalu. Dan begitu ekspor diperbolehkan lagi, harganya tidak kumat.

Harga minyak goreng kemasan sebelum ada gejolak, 14 ribu per liter. Biasanya yang dikemas dua liter harganya Rp 28 ribu – Rp 29 ribu. Setiap Jumat ada diskon jadi Rp 25 ribu. Untuk yang curah di pasar mulai Rp 9.500 hingga Rp 11 ribu per liter.

Saya menyebutnya keputusan sapu jagat karena dengan satu sapu ini seisi jagat perminyak gorengan teratasi.

Masih ada waktu lima hari untuk menyiapkan peraturan tertulisnya. Termasuk aturan yang bisa mengatasi trik-trik untuk menyiasatinya.

Juga sinkronisasi antara perdagangan dan industri. Ada potensi pabrik-pabrik CPO bermasalah. Juga pabrik minyak goreng. Rantai pasok mereka bisa tiba-tiba guncang.

Tentu para pengusaha tidak akan melawan keputusan presiden itu. Gejala perlawanan sempat muncul. Yakni seperti yang disuarakan pengurus asosiasi sawit. Sampai mengancam akan mundur dari program subsidi.

Nyatanya presiden justru mengeluarkan keputusan sapu jagat. Yang diucapkan sendiri lewat video resmi dari Istana Negara. Durasi video itu pun begitu pendek. Hanya satu menit. To the point. Tidak pakai basa-basi apa pun.

Pun cara Presiden Jokowi tampil di video sangat serius. Termasuk di raut wajahnya.

Sapu jagat!

Kebutuhan dalam negeri hanya 5 juta ton. Pasar ekspor 50 juta ton. Kali ini yang 50 juta ton dikorbankan untuk memenuhi yang 5 juta ton.

Maka, sebenarnya tidak harus ada keputusan sapu jagat. Lima juta ton tidak ada artinya dibanding 50 juta ton. Tapi jalan biasa sudah dicoba.

Tidak manjur.

Bahkan mengesankan seperti mencla-mencle. Wibawa pemerintah seperti jadi bahan mainan. Sampai mengusik seorang penyanyi sekelas Iwan Fals menjadikannya lagu top hits.

Sungguh. Sebenarnya tidak perlu ada sapu jagat. Kalau bisa ditata dengan baik.

Kasihan eksporter. Yang sudah telanjur menandatangani kontrak. Yang akan kena klaim dari luar negeri. Yang juga merusak jadwal kapal internasional.

Tapi Presiden memang sudah di tahap jadi bulan-bulanan. Sapu jagat ini telah menyelamatkannya.

Saya tidak bisa membayangkan betapa ruwet kesibukan di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian hari ini. Sampai lima hari ke depan.

Jangan-jangan dalam tiga hari ke depan ketersediaan minyak goreng tiba-tiba melimpah.

Lalu, larangan ekspor itu pun tidak perlu dilaksanakan di hari Kamis. Tanpa harus ada menko yang tiba-tiba bisa mencabut larangan ekspor itu. Ekspor produk sawit tahun lalu sumbang negara Rp 500 triliun. (***)

(Dahlan Iskan)

Continue Reading

Opini

Ketika KM 50 Menjadi Sorotan Amerika

Published

on

Foto : Istimewa

by M Rizal Fadillah

Jakarta, gopindonesia.co – Berita bagus bagi pejuang HAM di Indonesia. Kasus-kasus yang dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM ternyata menjadi konten laporan dari Departemen Luar Negeri AS. Kasus Papua dan pembunuhan 6 anggota Laskar FPI termasuk di dalamnya, ini artinya telah menjadi perhatian dunia sekurangnya Amerika.

Soal Papua lebih mudah difahami karena kepentingan AS ada di dalamnya. Akan tetapi soal pembunuhan oleh aparat 6 anggota Laskar FPI relatif lebih obyektif. Kementrian Luar Negeri melihat di samping pembunuhan itu unlawful juga jelas bermotif politik ‘unlawful and politically motivated killings’.

Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 Pengawal HRS telah membuat Buku Putih “Gross Violation of Human Rights–The Killings of Six HRS Guards” yang dikirimkan ke berbagai elemen kepedulian dan pembelaan HAM dunia. Deplu AS mendasari Laporan dengan mengangkat temuan resmi Komnas HAM yang melihat bahwa peristiwa KM 50 itu adalah tindakan pembunuhan aparat terhadap orang yang sudah dalam posisi tahanan Polisi.

Proses hukum peristiwa KM 50 ditangani dengan penuh rekayasa dan terbaca jelas oleh rakyat. Menjadi tragedi hukum.
Kondisi termiris dalam abad ini adalah bahwa pembunuhan terhadap tahanan telah terbukti secara hukum tetapi nyatanya si pembunuh dilepas dan tidak tidak dihukum. Luar biasa.

Sorotan Amerika atas kasus KM 50 tentu berimplikasi pada keyakinan bahwa kasus ini tidak dianggap selesai. Juga ancaman ke depan bagi penguasa untuk dapat dituntut.
Isu terorisme yang diarahkan pada FPI sama sekali tidak beralasan dan dapat diabaikan. Sejalan dengan sikap formal AS yang mulai menghapus Islamophobia.

Pembunuhan atau lebih tepat disebut pembantaian atas 6 anggota Laskar FPI adalah kejahatan serius. Meski skeptis, Komnas HAM harus membuka kembali kasus. Berbasis pada UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dimana Komnas HAM akan berstatus sebagai Penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai Penyidik. Dengan demikian keterlibatan aparat Kepolisian dapat diperiksa dengan lebih obyektif.

Ketika KM 50 menjadi sorotan Amerika, maka seluruh elemen masyarakat dan bangsa Indonesia harus lebih banyak berbuat untuk mendesak Pemerintah agar tidak merekayasa dan menutupi fakta sebenarnya. Kasus serius ini jika disederhanakan maka sama saja dengan kebijakan yang terang-terangan menginjak-injak HAM dan Demokrasi.
Wujud dari Pemerintahan otoriter.

“Informasi yang terkandung dalam laporan ini sangat penting dan mendesak mengingat pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di banyak negara, kemunduran demokrasi yang terus berlanjut di berbagai benua, serta otorianisme yang merayap mengancam HAM dan Demokrasi”, demikian siaran Deplu AS.

*) M Rizal Fadillah : Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Continue Reading

Trending