Connect with us

Provinsi

Sangga Buwana, Akulturasi Kuliner Jawa-Eropa

Published

on

Ilustrasi sangga buwana (Foto : instagram.com/ayusoebroto, @www.idntimes.com)

Yogyakarta, goindonesia.co – DIY memiliki banyak makanan khas yang menyimpan cerita menarik dan istimewa dibalik asal usulnya. Salah satunya Sangga Buwana, santapan yang lahir sebagai bentuk akulturasi bidang kuliner antara Jawa dengan Eropa.

Asal usul makanan Sangga Buwana ini pun diungkapkan Direktur Utama Bale Raos, Sumartoyo. Menurut Sumartoyo yang akrab disapa Toyo, Sangga Buwana merupakan salah satu santapan yang telah ada sejak akhir era bertakhtanya Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Tetapi, kuliner tersebut mulai banyak disajikan khususnya di era pemerintahan Sultan HB VIII.

“Pada era Sultan HB VIII ini banyak tamu-tamu dan berbagai acara yang ada di Keraton Yogyakarta. Sultan HB VIII dalam menjamu tamu-tamunya merajakke. Jadi dijamu dengan makanan-makanan yang tidak mesti harus mewah, steak dan sebagainya, tapi juga bisa diterima di lidah, baik itu orang Belanda maupun orang kita. Nah, Sangga Buwana ini ada perpaduan antara masakan atau kuliner Eropa. Kalau dilihat, bahan-bahannya, memang sebetulnya lebih banyak pengaruh dari makanan Eropa,” jelas Toyo di Bale Raos, Rabu (06/03) lalu.

Sebagai wujud akulturasi budaya di bidang kuliner, Sangga Buwana terdiri dari tiga susunan bahan utama yaitu sous, ragout, dan saus mustard Jawa. Sous dikenal sebagai roti di masyarakat Eropa berbahan dasar tepung terigu yang diolah bersama mentega, telur, dan bahan lainnya. Alih-alih diisi dengan isian fla vanilla seperti sous pada umumnya, sous pada Sangga Buwana diisi dengan ragout yang terbuat dari potongan-potongan aneka sayuran (kentang, wortel, bawang bombay, bawang putih) dan daging ayam yang dibumbui. 

“Sangga Buwana ini ada perpaduan antara masakan Eropa dengan acar sebagai garnishnya. Acar sendiri banyak dikenal di masyarakat oriental maupun kita di Jawa. Kemudian penyajiannya, Sangga Buwana ada sous yang diisi ragout, kemudian ada dressingnya. Kalau biasa orang Eropa, dressingnya itu mayones, mustard, dan lain sebagainya. Kemudian ada pula perpaduan mustard dengan kuning telur,” terang Toyo.

Dressing Sangga Buwana merupakan kreasi saus mustard Jawa, berbahan dasar mentega dan kuning telur rebus yang telah dihancurkan. Kemudian ditambahkan mustard, gula, dan garam yang diaduk rata. Selanjutnya ditambahkan susu yang diaduk dengan kekentalan yang diinginkan dan terakhir diberi perasan jeruk nipis. Semua bahan kemudian disusun menjadi satu, mulai dari sous yang diisi ragout lalu disiram dengan saus mustard Jawa di atasnya. Sangga Buwana pun semakin lengkap dengan tambahan garnish berupa acar timun, daun selada, tomat dan telur rebus.

“Jika dilihat dari segi kandungannya, memang sangat penuh ya. Jadi proteinnya ada, proteinnya komplit baik hewani dan nabati. Ada karbohidratnya dari tepung dan sebagainya plus sayuran. Nah, sebetulnya makanan Sangga Buwana itu bukan junk food tetapi makanan berkualitas dan memiliki nilai gizi cukup. Jadi generasi muda, nggak usah minder dengan kuliner kita. Kalau di barat ada burger, kita punya Sangga Buwana yang itu hampir mirip,” ujar Toyo.

Toyo menyatakan, Sangga Buwana juga memiliki makna dibalik namanya. Dalam bahasa Jawa, Sangga berarti menyangga, sementara Buwana adalah dunia. Dengan demikian, secara umum, nama Sangga Buwana bermakna penyangga kehidupan. 

“Jadi simbolisasi sebetulnya. Simbolisasi bahwa kita menghidangkan jamuan makan itu pada acara-acara tertentu, acara pernikahan, itu punya makna dan punya harapan. Bahwa ada Sangga Buwana di suatu pernikahan itu adalah untuk menyanggah kehidupan yang selanjutnya. Banyak makanan-makanan yang ada di Jawa di Keraton dan sebagainya itu, nama makanan, nama sesuatu itu pasti mempunyai maksud.” kata Toyo.

Disebutkan Toyo, dulunya Sangga Buwana memang disajikan untuk menjamu tamu-tamu dari Belanda, baik sebelum kemerdekaan maupun pasca masa kemerdekaan. Pasca kemerdekaan hidangan ini mulai dapat dijumpai di masyarakat umumnya pada acara atau pesta pernikahan. 

“Masyarakat Jogja, kalau di era tahun 50-an, 60-an itu, kalau ada suatu keluarga punya pesta pernikahan, kemudian menyajikan Sangga Buwono, itu pasti mohon maaf, di kalangan tertentu. Karena, satu, yang biasa atau bisa menikmati hidangan itu adalah memang maaf dari kalangan tertentu. Dulu kan jamuan makan pesta itu bukan standing party, tapi duduk. Makanya ada mulai dari hidangan pembukanya, ada snacknya, kemudian ada Sangga Buwana sebagai starternya baru main course, dan sebagainya,” papar Toyo.

Dikatakan Toyo, eksistensi Sangga Buwana di masyarakat sangat populer di era 50-an, 60-an bahkan sampai 70-an. Namun dengan perkembangan zaman yang ada, kuliner tersebut sempat mengalami penurunan kepopuleran di tahun 80-an 90-an. Pada akhir tahun 90-an dan tahun 2000 ini lah Sangga Buwana baru mulai banyak dikenal lagi, biasanya di masa-masa bulan Ramadan.

“Dari segi perjalanan Sangga Buwana yang tadinya hanya di kalangan Keraton, priayi, namun kemudian atas keterbukaan dari Keraton Yogyakarta, sampai saat ini juga, itu bisa dinikmati masyarakat. Jadi Songgo Buwono itu, satu, dihidangkan dulu itu sebagai simbol prestise. Yang kedua adalah mempunyai makna dan harapan bahwa kita memaknai makanan ini adalah sebagai penyangga kehidupan. Jadi suatu keluarga itu penyangga kehidupan di dunia. Sangga Buwana itu boleh dikatakan makanan asli Jogja, namun sekali lagi itu bentuk akulturasi budaya di bidang kuliner,” urai Toyo.

Di masa bulan Ramadan, disebutkan Toyo, Sangga Buwana menjadi santapan para priyayi dan para kalangan menengah, untuk berbuka puasa. Lantaran kandungan gizi komplit yang terkandung dalam Sangga Buwana dirasa cocok untuk mengisi perut yang kosong setelah berpuasa. “Biasanya juga dulu kalau tidak Ramadan, juga dihidangkan pada saat acara ngabekten atau syawalan. Di trah-trah kami, di tahun 60-an 70-an itu menjadi yang ditunggu-tunggu bagi anak-anak. Sangga Buwana itu karena tidak semua orang bisa bikin, jadi pada momen-momen tertentu hanya bisa didapatkan,” ungkap Toyo.

Sangga Buwana pun kini telah menjadi salah satu kuliner yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya TakBenda (WBTB). Toyo mengutarakan, pihak Keraton sendiri tidak mengklaim atau tidak mendaftarkan hak intelektualnya. 

“Mengapa menjadi salah satu warisan budaya tak benda, itu juga bukan hanya masalah bentuk makanannya. Tetapi bagaimana makanan itu, di era, di masa-masanya itu, menjadi suatu penanda dan sebagainya. Supaya Sangga Buwana bisa lestari, ya harus hidup di masyarakat. Inilah bentuk keterbukaan Keraton Yogyakarta, bagaimana kuliner itu hidup di masyarakat yang bisa dinikmati, dibuat, dikembangkan, dan menjadi komoditi ekonomi khususnya industri rumahan,,” pungkas Toyo. (***)

*Humas Pemda DIY

Continue Reading
Advertisement Berita Vaksin Penting

Berita Provinsi

Pertanian di Rohil Cukup Membantu Kebutuhan Pangan di Riau

Published

on

Rakor Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) – Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) wilayah Sumatera yang digelar Hotel Pangeran di Riau, Pekanbaru (Foto : @mediacenter.riau.go.id)

Pekanbaru, goindonesia.co – Asisten III Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov) Riau, Elly Wardhani mengatakan Provinsi Riau mengalami inflasi dari komoditas pangan karena kondisi lahan pertanian yang sedikit berbeda dengan provinsi lainnya di Pulau Sumatera. Dimana, mayoritas lahan yang ada di Riau merupakan lahan gambut.

“Mayoritas lahan kita lahan gambut. Lahan kita tidak ramah untuk budidaya pertanian,” ujarnya, Kamis (16/5/2024).

Hal itu ia sampaikan saat menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) – Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) wilayah Sumatera digelar di Riau, Pekanbaru. Kegiatan tersebut berlangsung di Hotel Pangeran, Pekanbaru.

Elly mengungkapkan, kalau Provinsi Riau disuruh menanam sawit, pasti akan cepat. Namun untuk pangan lainnya seperti cabai dan bawang masih sangat kurang.

“Begitulah kondisi di Riau, mau membenahi harus dari sisi hulu dulu. Kalau disuruh nanam sawit, cepat. Tapi untuk pangan lain harus kita akui kita ketergantungan pada daerah pemasok,” imbuhnya.

Elly mengakui, stok pangan di Riau bergantung kepada daerah pemasok bahan tersebut, terutama Provinsi Sumatera Barat. Ia jelaskan, untuk komoditas yang dihasilkan oleh Provinsi Riau yaitu bawang merah baru terpenuhi 0,99% sedangkan beras 25%. 

“Kami sudah meningkatkan kelompok tani di Rohil. Rohil cukup membantu untuk meningkatkan produktivitas padi,” katanya.

Ia jelaskan, mengenai permasalahan pangan ini Pemprov Riau sudah sering bekerjasama dengan Bank Indonesia. Namun masalahnya bukan di pupuk, namun lahan yang akan dipupuk nantinya.

“Memang permasalahan dari hulu tidak mendukung budidaya pertanian, tapi kita mengharapkan adanya perbaikan dari sana, dari awalnya,” jelasnya. (***)

*BIDANG INFORMASI KOMUNIKASI PUBLIK

Continue Reading

Berita Provinsi

Semangat Revolusi Hijau, Pemprov Kalsel Berhasil Menanam Lagi 500 Bibit Pulai

Published

on

Dishut Provinsi Kalsel menanam sebanyak 500 bibit pohon pulai di areal Forest City Perkantoran Pemprov Kalsel (Foto : @diskominfomc.kalselprov.go.id)

Banjarbaru, goindonesia.co – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Selatan (Kalsel) melalui Dinas Kehutanan (Dishut) bersama Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) mendorong lagi semangat revolusi hijau dengan melakukan penanaman, di areal Forest City Perkantoran Pemprov Kalsel sekitar Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalsel, Banjarbaru, Kamis (16/5/2024).

Kepala Dishut Provinsi Kalsel, Fathimatuzzahra diwakili Sekretaris, Kinta Ambarasti mengatakan, pihaknya menanam sebanyak 500 bibit pohon pulai demi tercapainya hutan lestari masyarakat sejahtera.

“Kita tahu bibit pulai ini sering digunakan untuk penghijauan karena daunnya hijau mengkilat, rimbun dan melebar ke samping sehingga memberikan kesejukan pada lingkungan melalui budaya menanam,” kata Kinta.

Kinta menuturkan, pihaknya memang selalu rutin melakukan penanaman yang digaungkan Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor (Paman Birin) agar terus menanam dan menanam untuk cucu anak nantinya.

“Penanaman yang dilakukan juga sesuai arahan Presiden RI, Joko Widodo untuk melakukan penanaman disepanjang musim penghujan di tahun 2024,” tutur Kinta.

Kinta menyebutkan, penanaman pohon bukan hanya penghijauan semata tetapi dapat memperbaiki lingkungan, iklim dan memperbaiki perekonomian masyarakat.

“Mari kita bersama-sama gelorakan gerakan revolusi hijau secara berkelanjutan dan menanamkan kesadaran bahwa setiap batang pohon yang ditanam adalah wujud kepedulian terhadap lingkungan,” ungkap Kinta.

Lebih jauh Kinta mengatakan, dari aksi penanaman sebagai contoh pada masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan menambah tutupan lahan.

“Jadi dari keberhasilan penanaman itu dilihat dari kondisi tegakan yang mempunyai kualitas baik dan sesuai dengan tujuan penanamannya,” kata Kinta. (***)

*Media Center Provinsi Kalimantan Selatan

Continue Reading

Berita Provinsi

Sediakan Pasokan Bahan Bakar Murah, Dislutkan Kalsel Dukung Nelayan Lokal Melalui SPBUN

Published

on

Dislutkan Provinsi Kalsel (Foto : @diskominfomc.kalselprov.go.id)

Banjarbaru, goindonesia.co – Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) secara aktif memberikan dukungan kepada para nelayan lokal. Salah satu program yang ditawarkan adalah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN), yang menyediakan pasokan bahan bakar yang murah dan mudah didapatkan bagi para nelayan.

Kepala Dislutkan Kalsel, Rusdi Hartono menyampaikan berdasarkan data terakhir menunjukkan ada 10 dari 11 unit SPBUN yang beroperasi, Banjarbaru, Kamis (16/5/2024).

“Data terbaru menunjukkan bahwa total distribusi bahan bakar solar SPBUN selama triwulan 1 adalah sebanyak 3.133.497 liter,” kata Rusdi.

Dijelaskan Rusdi, SPBUN berfungsi sebagai tempat pengisian bahan bakar yang murah untuk perahu nelayan, sehingga para nelayan dapat menghemat biaya dan waktu.

Lebih lanjut, Rusdi menyampaikan saat ini diwilayah perairan keseluruhan Kalsel, jumlah nelayan mencapai 72.563 jiwa. Dari jumlah tersebut, 30.564 orang berprofesi sebagai nelayan laut.

Dengan jumlah yang besar dan peran penting para nelayan, Dinas Perikanan harus merespon dengan tepat dan cepat terhadap permintaan nelayan, termasuk dalam hal ketersediaan bahan bakar.

“Kita akan terus melakukan evaluasi proyek dan memperbaiki kendala yang ada untuk meningkatkan kualitas layanan serta keandalan SPBUN bagi keberlangsungan para nelayan,” ucap Rusdi. (***)

*Media Center Provinsi Kalimantan Selatan.

Continue Reading

Trending