Connect with us

Ruang Publik

Catatan HPN 2022: Bagaimana Nasib Masa Depan Media Kita?

Published

on

Penulis, Henry Ch Bangun. (Foto/Ist)

Jakarta, goindonesia.co – Sempena Hari Pers Nasional 2022 yang jatuh pada 9 Februari lalu dan puncak acaranya dilangsungkan di Kendari, Sulawesi Tenggara, di spanduk, billboard, iklan media massa dan media sosial terpampang berbagai harapan kepada pers.

“Pers harus menjadi perekat dan mempersatukan bangsa,” “Pers harus menjaga kualitas agar dapat menangkal hoaks.” “Pers harus menjadi penjernih informasi agar masyarakat tidak diracuni berita palsu”. “Pers jangan partisan, bersikap independen adil bagi semua kelompok masyarakat”. “Pers itu bertugas mengoreksi, bukan menjadi corong pemerintah.”

Dan entah apalagi. Isinya semua tuntutan. Maunya pers begini dan begitu. Semua itu mungkin harapan karena ada hal-hal yang dianggap tidak cocok atau sudah berubah seiring dengan perkembangan zaman. Harapan ideal, yang barangkali hanya bisa dilakukan di era yang ideal – dan itu bukan sekarang.

Ya, saat ini media tidak sedang baik-baik saja. Hampir semuanya sekarat. Pada banyak media, pendapatan bukan hanya turun drastis tetapi cenderung habis. Pada media lain, pendapatan ada tetapi tidak cukup untuk saving, hanya membiayai operasional. Ada satu dua yang hidup cukup sehat, tetapi kalau kondisi tidak berubah mungkin musim gugur kembali melanda industri media.

Yang bisa menolong ada dua, yaitu pemerintah melalui regulasi dan masyarakat melalui donasi atau kepedulian.

Seluruh aturan harus bermuara pada satu hal, membantu perusahaan pers. Perusahaan media massa janganlah lagi dianggap entitas bisnis – kecuali tentu yang porsi entertainmentnya lebih besar dari berita. Anggaplah dia sebagai lembaga yang membantu pemerintah dalam mencerdaskan bangsa, menyalurkan informasi, dan berpartisipasi dengan ide dan aspirasi untuk mengembangkan sistem demokrasi.

Dalam posisi ini maka media dianggap partner pemerintah, masyarakat yang ambil bagian sesuai porsinya membantu penyelenggaraan negara. Mereka tidak mencari untung, pendapatan yang diperoleh hanya digunakan untuk menunjang operasional, tidak menumpuk kekayaaan.

Dengan demikian maka biaya izin-izin media penyiaran tidak perlu ada. Pajak kertas koran, haruslah dihilangkan. Kucurkan subsidi agar pelatihan dan peningkatan kompetensi sumber daya manusianya dapat terlaksana. Kalau perlu supaya perusahaan media maju, media didukung dengan kredit usaha berbunga rendah – atau bahkan tanpa bunga. Di sini berlaku moto, pers sehat, bangsa kuat.

Seperti berulang kali saya tulis, pemerintah mengucurkan triliunan rupiah untuk meningkatkan SDM eksekutif, legislatif, yudikatif, dengan beragam jenis pendidikan dan pelatihan, dengan berbagai jenjang pula. Tetapi pemerintah sangat pelit memberikan bantuan pada SDM media.

Dewan Pers sebagai satuan kerja di Kementerian Kominfo melalui perencanaan di Bappenas dan disetujui di DPR, diberikan anggaran pelatihan dan uji kompetensi wartawan sebesar Rp12 miliar lebih bagi 1.870 wartawan pada tahun 2022 ini. Sedangkan pada tahun 2021 sebesar Rp10 miliar, yang menghasilkan 1.750 wartawan bersertifikat.

Sertifikasi lebih banyak dilakukan organisasi wartawan seperti PWI, AJI, IJTI dengan bantuan dari berbagai pihak agar wartawan menjadi profesional dan memahami minimal Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Sertifikasi hanyalah pemetaan kompetensi umum, padahal sebenarnya awak media di jenjang tertentu harus memiliki keterampilan khusus, spesialis, dan konten media semakin bermutu. Begitu pula perlu pelatihan manajemen pengelolaan media agar pengurusan perusahaan pers dilakukan sesuai dengan good corporate government: ada kontrol kualitas konten, ada kredibilitas manajemen di mana wartawan bekerja dalam prosedur dan pertanggungjawaban yang jelas.

Perusahaan media takkan bisa melakukan peningkatan kapasitas SDM-nya sendiri dalam kondisi saat ini. Harus ada peran pemerintah, melalui lembaga di kementerian terkait seperti Kominfo, Kementerian Ekonomi Kreatif, Kementerian Perdagangan, dsb.

Masyarakat pun jangan hanya bisa meminta pers harus berbuat ini atau berbuat itu. Berilah media napas kehidupan. Masyarakat adalah sumur tanpa dasar kalau bicara soal dana yang tersedia. Ada banyak uang, tinggal lagi apakah mau diberikan atau tidak. Bukan hanya saat ini.

Saya teringat saat mingguan Star Weekly, menggalang dana bagi regu Piala Thomas Indonesia yang bertanding di Selandia Baru untuk penyisihan dan kemudian ke Singapura untuk putaran final pada tahun 1958. Melihat pemerintah tidak punya cukup uang dan PBSI pun tidak punya dana cukup, majalah itu membuka dompet donasi. Akhirnya Indonesia mengalahkan Malaysia di final dan memboyong Piala Thomas ke Jakarta dan pemain-pemainnya diterima Presiden Soekarno di Istana Negara. Semua senang Indonesia berjaya. Kuncinya, dana masyarakat.

Pada saat ini masyarakat Indonesia terkenal paling pemurah seantero jagat. Dalam launching Hari Pers Nasional di Studio TVRI Jakarta pada 30 Januari 2022, saya katakan, rakyat Indonesia ringan tangan untuk menyumbang ke berbagai pelosok dunia.

Ada anak-anak kelaparan dan kedinginan di Suriah, dibantu. Ada anak-anak tidak mempunyai Al Quran untuk belajar di Nigeria, dibantu. Ada pengungsi Myanmar terdampar, dibantu. Ada bencana Semeru, rakyatnya dibantu. Ada gempa bumi di Lombok, dibantu. Di Instagram saya melihat puluhan lembaga meminta dan menyalurkan sumbangan dengan jumlah putaran dananya sulit dihitung, di dalam dan luar negeri. Entah berapa ratus miliar pertahun.

Menurut saya, perusahaan pers dengan kualitas bermutu juga patut didukung oleh masyarakat kalau memang ingin agar media massa dapat menjalankan tugas, peran, dan fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Pers. Bantu dengan berlangganan –konten premium ataupun media cetak, beriklanlah langsung, atau kerja sama secara kolaboratif, bersinergi, karena bangsa dan negara ini membutuhkan media berkualitas.

Pada saat ini media dalam kondisi orang yang hampir tenggelam. Ada airnya sudah di leher, ada yang masih di pinggang. Tetapi ada pula yang sudah timbul tenggelam. Dalam kondisi itu maka, tentu mereka harus ditolong dulu. Selamatkan, beri tenaga dengan asupan makanan sehat. Baru bisa disuruh bekerja baik.

Media dalam kondisi sakit, akan berjuang dengan caranya sendiri untuk hidup. Terkadang apapun ditelannya agar bisa bertahan.

Terus Anda sekalian mau mengharapkan mereka menjadi idealis? Tentu sulit.

Maka masa depan media bakal ditentukan oleh peduli tidaknya pemerintah dan masyarakat, bagaimana melihat posisi media dalam sebuah negara demokrasi. Kalau media mati satu persatu, yang rugi masyarakat, karena mereka akan disuguhi informasi yang asal-asalan, yang tidak jelas kredibilitasnya, karena tidak dikelola oleh orang yang kompeten dan bertanggungjawab.

Jadi, janganlah hanya bisa menuntut. Berbuatlah sesuatu bagi media. Demi masa depan bangsa yang lebih baik. (***)

Catatan Henry Ch Bangun

Continue Reading
Advertisement Berita Vaksin Penting

Ruang Publik

Rakyat Indonesia nobatkan Anwar ‘Sukarno Besar’ di pentas UNGA

Published

on

Perdana Menteri Datuk Seri Anwar Ibrahim. – Foto BERNAMA.

Penulis : Andi Suwirta

Jakarta, goindonesia.co – Penulis amat tertarik dengan kolum Belalang Jalan Riong bertajuk ‘Jangan dibandingkan keterampilan Anwar dengan PM lain di UNGA’ seperti disiarkan di BH Ahad lalu.

Tulisan itu merujuk kepada penampilan sulung Perdana Menteri, Datuk Seri Anwar Ibrahim ketika berucap pada Perhimpunan Agung Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (UNGA) ke-78 di New York, Amerika Syarikat (AS), Jumaat lalu.

Tema Perbahasan Umum UNGA pada tahun ini ialah ‘Membina kembali kepercayaan dan menyemarakkan semula perpaduan global: Mempercepat tindakan Agenda 2030 dan Matlamat Pembangunan Mampannya ke arah keamanan, kemakmuran, kemajuan dan kemampanan untuk semua.

Dalam konteks ini, usaha membandingkan Anwar penting tidak setakat dengan masa lalu dalam negara, tetapi perlu dilihat juga dalam konsep ruang atau wilayah persekitaran, iaitu kepemimpinan daripada negara jiran, khasnya dengan Indonesia.

Seperti sedia maklum, dalam perspektif sejarah, Presiden Indonesia, Sukarno diiktiraf dan diakui sebagai pemidato hebat yang bukan sahaja setakat dalam bahasa Indonesia, bahkan berupaya berpidato dalam bahasa Inggeris dan bahasa Belanda.

Kita boleh lihat pada 30 September 1960 contohnya, Sukarno berpidato di UNGA dengan tajuk To Build the World a New. Kandungan dan cadangan ucapan Presiden Indonesia itu menggesa PBB dirombak, memandangkan dunia berubah susulan banyak negara baharu lahir selepas masing-masing merdeka daripada kuasa kolonial pada dekad 1950-an dan 1960-an.

Bagaimanapun, cadangan Sukarno ditolak PBB terutama negara Barat yang sebelum itu memenangi Perang Dunia 2 berlangsung antara 1939 hingga 1945. Ia menjadi punca negara itu mengumumkan untuk keluar daripada badan dunia berkenaan pada Januari 1965.

Keputusan itu turut ada kaitan dengan suasana politik serantau, iaitu Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia antara 1963 hingga 1966.

Apapun, selepas saya meneliti ucapan Anwar ketika menyampaikan Kenyataan Negara, tidak dinafikan pidato Perdana Menteri Malaysia lebih hebat daripada Sukarno. Anwar fasih pula berucap dalam bahasa Melayu, apatah lagi dalam bahasa Inggeris.

Kandungan dan cadangan ucapan Anwar memang tidak sampai mahukan PBB dirombak seperti diungkapkan Sukarno, tetapi beliau membangkitkan isu global penting yang perlu ditangani masyarakat dunia.

Isu Islamofobia semakin kritikal, masalah Palestin tidak berkesudahan, konsep keadilan sejagat dan pelaksanaannya dalam konteks Kerajaan Perpaduan dan agenda Malaysia MADANI digagaskannya yang antara lain memberikan keutamaan kepada ketelusan dan antirasuah di Malaysia bukan sahaja kekal kritikal, bahkan sangat relevan sehingga sekarang.

Konsisten dengan misi, visi perjuangan

Memang diakui wacana diucapkan Anwar sebenarnya konsisten dengan misi dan visi perjuangannya sejak beliau masih bergelar mahasiswa dan belia lagi sehingga sekarang. Kita perlu menegaskan Anwar adalah tokoh mahukan Islam bersifat inklusif dan ‘rahmatan lil alamin’, sekali gus tidak setakat selari dengan keperluan zaman moden, bahkan juga akur dengan kehidupan demokrasi pada sesebuah negara bangsa.

Harus ditekankan juga perbezaannya adalah kerajaan Sukarno dahulu mengamalkan demokrasi terpimpin, satu sistem kerajaan dan bernegara yang hakikatnya tidak ada demokrasi kerana semua dipimpin dan dikawal Presiden, sebaliknya Anwar merealisasikan demokrasi berpaksikan masyarakat MADANI, manakala pembangkang diberikan ruang kebebasan bersuara, walau dengan suara melenting dan maki hamun sekalipun.

Suatu masa dahulu pada dekad 1990-an, bekas Perdana Menteri, Tun Dr Mahathir Mohamad dilabel ramai dalam kalangan orang Indonesia laksana ‘Sukarno Kecil’, susulan kelantangannya dalam menghentam hegemoni kuasa Barat sebagai bentuk neokolonialisme dan imperialisme.

Maka sekarang pada 2023, ramai orang Indonesia menyatakan Anwar adalah ‘Sukarno Besar’. Ertinya, Anwar lebih hebat daripada Sukarno, Presiden pertama memimpin Indonesia antara 1945 hingga 1968.

Sebaik menonton video ucapan Anwar di saluran YouTube, selama kunjungan beliau yang turut popular dengan panggil ‘PMX’, saya hantar pesan kepada kumpulan WhatsApp yang disertai ramai pensyarah daripada Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Filipina dan menegaskan inilah figura pemimpin Asia Tenggara, bahkan pemimpin dunia Muslim yang hebat.

Masakan tidak, mana ada Perdana Menteri Malaysia sebelumnya, yang apabila berpidato begitu fasih memetik ayat suci al-Quran. Pemimpin Indonesia sahaja, yang majoriti penduduknya adalah Muslim dan teramai di dunia, dari dahulu hingga sekarang, setakat boleh mendahulukan ucapan ‘Assalamualaikum’ apabila berpidato.

Tambahan pula, Anwar ialah PM Malaysia yang boleh menyampaikan khutbah dalam sembahyang Jumaat di hadapan masyarakat Muslim New York. Apabila dibandingkan, sama ada dengan PM Malaysia sebelumnya mahupun dengan pemimpin Muslim dari negara lain, jelas Anwar adalah figura pemimpin yang langka dan jarang ditemui dalam masyarakat Muslim di dunia.

Natijahnya, rakyat Malaysia, termasuk Indonesia dan rantau Asia Tenggara, kena bangga dan ikut teruja dengan kepemimpinan Anwar sebagai PMX Malaysia. Malah, kena yakin pula bahawa Malaysia sekarang sudah menjadi ‘Abang Besar atau paling tidak ‘sebaya, jadi bukan lagi ‘adik kecil’ kepada Indonesia. (***)

*Penulis : Andi Suwirta, : @www.bharian.com.my

Continue Reading

Ruang Publik

Ahmad Doli Kurnia, Album Kedua

Published

on

Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung (DOKUMENTASI : PRIBADI)

Jakarta, goindonesia.co – Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung sedang bergembira karena berhasil meluncurkan album keduanya yang berjudul Nyanyian Anak Negeri-Pusaka Nusantara pada akhir Agustus lalu. Album itu berisi sembilan lagu bertema kebangsaan dan bertujuan untuk membuat generasi muda semakin mencintai lagu-lagu nasional yang diaransemen ulang.

”Dengan diaransemen, saya berharap anak-anak muda mau lagi mendengarkan dan ikut menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Saya pernah merasa sedih saat melihat anak-anak muda mulai tidak hafal dengan lagu-lagu kebangsaan kita,” kata Ahmad Doli saat bertemu di Tangerang Selatan, Senin (4/9/2023).

Lagu-lagu yang diaransemen, antara lain, ialah ”Hari Merdeka”, ”Bagimu Negeri”, ”Garuda Pancasila”, dan ”Di Timur Matahari”. Ahmad Doli juga menciptakan empat lagu pada album itu, yang berjudul ”Nusantara”, ”Indonesia Bangkit”, ”Khidmat”, dan ”Jayalah Selamanya”.

Dalam mengaransemen lagu kebangsaan dan memproduksi lagu baru, Ahmad Doli dibantu sejumlah musisi nasional, seperti Kaka Slank, Shanna Shannon, Conrad Good Vibration, dan Pay BIP.

Sebelumnya, Ahmad Doli sudah meluncurkan album pertama pada 2019 dengan judul Nyanyian Rumah Indonesia. Album pertama juga bertema kebangsaan dengan lagu-lagu nasional yang diaransemen ulang dengan sentuhan genre rock, reggae, hingga ska. Kala itu, dia juga dibantu sejumlah musisi yang tergabung dalam Sinergy for Indonesia.

”Saya berharap lagu-lagu kebangsaan ini digemari generasi muda sehingga nasionalisme mereka tumbuh semakin kuat,” kata Ahmad Doli, yang pernah menjadi penabuh drum saat SMA. (***)

*@www.kompas.id

Continue Reading

Ruang Publik

Yatim Sejak Kecil dan Hampir Putus Sekolah, Jennie Kini Cicipi Kuliah di Amerika

Published

on

Mahasiswa UIN Sunan Ampel, Jennie Nabilah, peraih beasiswa MOSMA Kemenag ( Dokumentasi : @www.kemenag.go.id)

Jakarta, goindonesia.co – Jennie Nabilah baru duduk di kelas 5 SD saat ayah tercinta meninggal dunia. Peristiwa ini mengguncang kehidupan keluarganya. Tulang punggung ekonomi keluarga mereka telah tiada.

Jennie, demikian dia biasa dipanggil, memang bisa menyelesaikan belajarnya di sekolah dasar. Tapi berat baginya untuk lanjut ke sekolah menengah pertama (SMP). Kondisi ekonomi keluarga tidak sedang baik, sehingga dia pun terancam berhenti sekolah.

Namun, Tuhan Maha Kuasa. Dia punya caranya tersendiri untuk memberi jalan bagi hamba-Nya. Jalan itu juga yang kini mengantarkan Jennie mencicipi kuliah di Amerika.

Minggu (20/8/2023), dengan mata berkaca, Jennie Nabilah menyempatkan diri berbagi cerita kisah perjuangannya hingga lolos seleksi MOSMA Kemenag dan berhak kuliah 1 semester di Buffalo State University, Amerika Serikat.

“Lulus SD tahun 2016, saya hampir saja tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP karena alasan biaya. Saat itu saya hampir putus sekolah,” demikian Jennie mengawali kisah perjalanan pendidikannya.

Padahal, lanjutnya, sekolah adalah kesenangannya. Tumbuh dalam keluarga sederhana, Jennie kecil sudah dikenal gigih dalam belajar. Bahkan, dia selalu meminta pergi ke sekolah, meski belum cukup secara umur.

“Saya sering merasa terpacu dan selalu ingin menemukan dan belajar hal baru. Tapi seperti jalan raya pada umumnya, pasti ada beberapa lubang yang harus dilewati,” sebutnya.

Lubang jalan yang dimaksud Jennie itu mulai dia rasakan semenjak ayahnya meninggal. Kondisi ekonomi keluarga sedang sulit sehingga tidak ada biaya untuk sekolah. Di tengah kesulitan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang SMP, Tuhan memberi pertolongan. Tiba-tiba, tetangga rumah yang berprofesi sebagai guru les datang ke rumah.

“Dia memberitahukan bahwa akan ada orang yang membantu biaya sekolahku hingga kuliah. Apa ini? Sesuatu yang sebelumnya terasa tidak mungkin digapai, tapi seolah ”Surprise!”, aku percaya bahwa setiap niat baik akan ada jalannya,” kenang Jennie dengan mata berkaca.

Benar adanya, penolong itu datang sehingga Jennie bisa melanjutkan pendidikan. Bantuan itu dipahami Jennie sebagai tanggung jawab yang harus dijalani dengan baik dan sungguh-sungguh.

Setiap tahapan pendidikan lalu dijalaninya dengan serius. Jennie berupaya menumbuhkan jiwa kompetitif, meski di tengah fasilitas yang serba terbatas. Misalnya saat akan ikut olimpiade, jangankan ikut les, bahkan untuk buku soal latihan saja harus pinjam dan fotokopi.

“Dulu masih merasa pesimis ketika melihat teman sejawat yang bisa pergi ke les privat olimpiade. Namun, aku percaya yang terpenting jangan membatasi kegigihan diri sendiri, jangan membatasi kepercayaan kepada kemampuan diri sendiri, karena sebenarnya konsep itu yang mahal untuk berjalan,” tuturnya.

’Long life learning’, demikian Jennie menggambarkan semangatnya di SMP dan SMA. Dia ingin terus berusaha menemukan banyak pengalaman di setiap babaknya, hingga semua lancar dan gemilang.

Namun, ceritanya kembali berbeda. Bak memutar kaset, Jennie kembali dihadapkan pada persoalan biaya saat akan melanjutkan pendidikannya. “Orang yang selama ini membantu pendidikan saya dari SMP hingga SMA, dia hanya sanggup untuk membiayai kuliah saya jika bukan melalui jalur mandiri,” kenangnya.

Matanya sembab. Dia tentu sangat berterima kasih atas bantuan yang dia terima sehingga bisa sekolah sampai lulus SMA. Tapi Jennie ingin kuliah. Dia berusaha mendaftar pada jalur prestasi dan lainnya, tentu bukan mandiri, sehingga memungkinkannya mendapat beasiswa. Namun, upayanya belum membuahkan hasil.

Bingung mendera. Liburan sekolah setelah lulus SMA praktis kurang bisa dinikmatinya, penuh keabuan. Apalagi, saat diskusi dengan keluarga dan teman-teman, tidak sedikit dari mereka yang bilang ”Sudah gak usah kuliah saja.”

“Sempat down. Tapi sejak kecil saya selalu ingin terus berjalan jauh di jenjang pendidikan. Sempat terbersit, apakah memang harus sampai di sini saja?,” sebutnya.

Dalam kondisi demikian, Jennie terus berupaya memupuk asa. Dia yakin akan ada jalan agar bisa terus kuliah. Karenanya, jika ada yang bertanya apakah ingin sekolah lebih tinggi lagi, Jennie selalu mengiyakannya.

Alhamdulillah, Tuhan menjawab doanya, bahkan melalui jalan di luar dugaannya. Tetiba, ada orang yang datang ke rumah dan menawarkan bantuan untuk membiayai kuliahnya. “Sekali lagi, memang manusia ini terbatas, tapi Tuhan tidak,” tegasnya.

Kini, ada dua orang yang membantu biaya pendidikan Jennie. Dia pun daftar dan diterima di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. Jalan kuliah terasa semakin lempang setelah Jennie di UIN Sunan Ampel juga mendapat beasiswa.

Hari demi hari, proses belajar di kampus dijalaninya hingga masuk semester lima. Sampai pada 15 Juni 2023, Jennie mendengar program MOSMA Kementerian Agama. Ada peluang beasiswa kuliah di luar negeri bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).

MORA Overseas Student Mobility Awards (MOSMA) merupakan salah satu program implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka. MOSMA berbentuk program mobilitas fisik yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar di perguruan tinggi luar negeri. Program ini berlangsung selama 1 semester dengan durasi maksimal 6 bulan. Melalui program ini, mahasiswa mendapatkan kredit yang dapat dikonversi ke dalam SKS (Satuan Kredit Semester) di kampus asal.

Peluang ini tidak Jennie sia-siakan. Kuliah di Amerika yang tak pernah dibayangkan, kini terbuka jalannya.

“Hadirnya program MORA Overseas Student Mobility Awards (MOSMA) terasa tepat waktu. Langsung saja jemput kesempatan, menyiapkan berkas, sertifikasi bahasa, wawancara, dan dinyatakan lolos dengan negara tujuan Amerika. Rencana Tuhan se-out of the box itu ya?” sebutnya dengan binar mata yang tak bisa disembunyikannya.

“Insya Allah saya terbang ke Amerika pada 26 Agustus 2023,” sebutnya.

Jika diputar ulang, kata Jennie, dia tidak pernah menyangka bahwa remaja yang dulu terancam putus sekolah dan sempat disarankan tidak usah kuliah, sekarang akan mencicipi belajar di Amerika? Dia pun mengaku tidak pernah menduga. Sebagai manusia, Jennie hanya berusaha maksimal. Dia merasa memiliki tanggung jawab untuk memerdekakan hidup.

“Untuk seluruh pelajar, remaja, dan semuanya yang sedang berjuang untuk apapun itu yang kalian impikan, percayalah bahwa kalian memiliki kesempatan dan hak untuk berusaha mewujudkannya. Sejujurnya yang lebih mahal adalah keyakinan kepada diri untuk terus berjalan dan mewujudkannya. Percaya bahwa setiap niat baik ada jalannya, karena Tuhan tahu jalan yang tepat untuk kita,” pesannya.

“Terima kasih Gus Men Yaqut Cholil Qoumas. Terima kasih MOSMA Kementerian Agama. Program ini terbukti memperluas akses bagi mahasiswa Indonesia untuk bisa menimba ilmu di seluruh penjuru dunia,” tandasnya. (***)

*A. Furqon Kusuma Yudha, @www.kemenag.go.id

Continue Reading

Trending