Connect with us

Health

Terkait Bahaya BPA, Data Berbagai Ahli Dunia Terus Bertambah

Published

on

ROSO DARAS Ketua Umum Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL)

Ketua Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL), Roso Daras, menyampaikan hasil penelitian Dr Deborah Kurrasch, terbaru mengenai bahaya BPA, yang diterbitkan di Science Advances, menunjukkan bahwa kewaspadaan berkelanjutan diperlukan.

“Peneliti Bayreuth yang dipimpin Dr Peter Machnik, melakukan penelitian mengenai Kerusakan Otak Terkait Senyawa Umum Dalam Benda Plastik,” ujar Ketua Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL), Roso Daras, di Jakarta, Rabu (30/06/2021).

Hasil penelitian Dr Deborah Kurrasch, dipublikasikan melalui jurnal kesehatan dunia pada tanggal 1 Juni 2021 melalui website https://neurosciencenews.com/bpa-brain-development-18528/

Release terbaru mengenai bahaya BPA ini melengkapi penelitian sebelumnya, yang dalam waktu 6 bulan di tahun 2021 ini, sudah ada 3 penelitian yang dipublikasikan pada jurnal international.

“Penelitian Kurrasch selama dekade terakhir telah berfokus pada bahan kimia yang dapat dikenali secara luas: Bisphenol A, juga dikenal sebagai BPA. Bahan kimia ini umumnya ditemukan dalam plastik, pelapis makanan kaleng, dan bahkan kuitansi termal,” papar Roso.

Pada bulan Januari 2021 lalu Peneliti gabungan dari Thailand, Jepang dan USA merilis hasil penelitian efek paparan bisphenol A prenatal pada gen terkait autisme dan hubungannya dengan fungsi hipokampus. Hasil dari penelitian tersebut adalah Paparan BPA sebelum melahirkan yang lebih tinggi diduga meningkatkan risiko autisme. ( https://www.nature.com/articles/s41598-020-80390-2 ).

Terkait dengan bertambahnya jumlah penelitian yang menyatakan BPA berbahaya, Roso Daras, menyesalkan pernyataan Eko Hari Purnomo, Pakar Teknologi Pangan IPB yang mengatakan bahwa BPA tidak berbahaya bagi kesehatan seperti yang disampaikan dalam sebuah tayangan televisi pada 22 Juni 2021 lalu.

“Beliau menyampaikan bahwa BPA tidak berbahaya bagi kesehatan tidak berdasarkan penelitian, tapi hanya berdasarkan ketentuan BPOM batas migrasi 0.6 bpj, Tapi tidak melakukan penelitian,” terangnya.

Berbeda dengan JPKL yang telah melakukan kajian dari peneliti, jurnal nasional dan internasional, serta referensi regulasi terkait larangan BPA di beberapa negara maju.

Selain kajian, JPKL juga telah meminta salah satu laboratorium yang terakreditasi untuk menganalisa migrasi BPA. Acuannya sesuai standard SNI yang telah ditetapkan BSN di dalam menganalisa migrasi BPA.

“Hasilnya memang di atas batas toleransi yang ditetapkan oleh BPOM. Dan perlu saya sampaikan bahwa kajian dan analisa lengkap terkait BPA telah JPKL sampaikan secara resmi ke BPOM,” ujarnya lagi.

Roso juga menyoroti disiplin ilmu Eko yang sebagai pakar pangan. “Padahal soal migrasi BPA akan lebih tepat kalau yang bicara pakar plastik. karena Itu bisa menyesatkan,” cetusnya.

Roso juga menambahkan bahwa apa yang disampaikan Eko Hari Purnomo semestinya disampaikan oleh BPOM langsung.

“Itu bukan ranah beliau. Sedangkan BPOM hingga saat ini belum menyampaikan apakah sudah meneliti lagi atau belum,” ujarnya.

Pendapat para ahli dunia yang menyatakan zat BPA berbahaya, terang Daras, telah masuk dalam jurnal international. Tahun 2021 ini saja sudah di release 3 jurnal international. Belum lagi penelitian di tahun-tahun sebelumnya.

Di Indonesia sendiri Jejaring Laboratorium Pengujian Pangan Indonesia (JLPPI) memberi rekomendasi yang menyatakan bahwa regulasi mengenai migrasi BPA masih sangat minim.

“Padahal bahaya BPA selalu membayang-bayangi konsumen terutama produk yang kemasannya terbuat dari plastik Polikarbonat,” kata Daras.

Lab yang terkumpul dalam JLPPI (Jejaring Laboratorium Pengujian Pangan Indonesia) ini menyadari masih kurangnya infrastruktur dalam pengujian BPA tersebut terlebih sudah mulai banyak kemasan yang mengklaim bahwa kemasannya BPA Free.

Pernyataan ini dapat di akses di http://jlppi.or.id/berita-263-tantangan-pengujian-bisphenol-a-bagi-laboratorium-pengujian.html

Bahkan jauh sebelumnya Pada tahun 2013, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia melakukan suatu Kajian Sistematis Dampak Pajanan Bisphenol A (BPA) terhadap Sistem Reproduksi dan Perkembangan Manusia.

Kesimpulan yang dapat diambil dalam kajian itu adalah BPA memberi dampak buruk terhadap organ reproduksi manusia. Juga terdapat saran, bagi Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI), agar melakukan pembatasan penggunaan BPA pada produk kemasan pangan bayi dan anakanak serta pada wanita hamil.

“Selain itu, memberikan sosialisasi terkait penggunaan produk kemasan atau wadah makanan yang mengandung BPA. Wadah makanan dengan bahan BPA dan dapat diganti dengan botol kaca,” papar Daras.

Oleh karena itu, kata Daras, Eko Hari Purnomo belum melakukan penelitian dan masuk dalam jurnal kesehatan nasional dan internasional, bisa menyatakan bahwa BPA aman.

“Seharusnya saudara Eko sebagai pakar dapat mempelajari, memahami hasil penelitian sebelumnya dan kebijakan-kebijakan negara maju di dalam melindungi kesehatan konsumen, terutama pada usia rentan seperti bayi dan balita,” kata Daras.

Sebaliknya menurut Daras, sebagai pakar Eko Hari Purnomo, seharusnya dapat lantang bicara perlu adanya Label peringatan konsumen, guna melindungi bayi dan anak sebagai generasi muda Indonesia yang tumbuh kembang sehat dan cerdas.

Apa yang disampaikan Daras, mendapat tanggapan Eko Hari Purnomo. Dihubungi terpisah beliau menegaskan, BPA tidak membahayakan kesehatan. Belum ada hasil penelitian atau literatur yang membuktikan pelepasan BPA di galon guna ulang berbahaya bagi kesehatan.

“Yang membuat bahaya itu bukan hanya sekadar bahannya, tapi juga dilihat dari konsentratnya. Kalau bicara aman atau tidaknya tergantung jumlah konsentrat yang ada dalam kandungannya,” ujar Eko.

Ia juga menekankan, ada batasan BPA maksimal yang bisa lepas dari kemasan. Dan BPOM telah menetapkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan yang mengatur persyaratan keamanan kemasan pangan termasuk batas maksimal migrasi BPA maksimal 0,6 bpj (600 mikrogram/kg) dari kemasan PC.

“Hasilnya masih dibawah ambang batas. Begitu pula saat dilakukan pengujian di air. Sangat kecilnya kemungkinan terjadinya migrasi BPA ke dalam air yang ada dalam galon guna ulang yang berbahan Polikarbonat (PC). Jadi kenapa ini masih diributkan,” papar Eko./* Eddie Karsito

Kesehatan

Tidak Ada Efek Samping Akibat Vaksin COVID-19 di Indonesia

Published

on

Ilustrasi vaksin COVID-19 (Foto : @sehatnegeriku.kemkes.go.id)

Jakarta, goindonesia.co – Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof. Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan, tidak ada kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia atau thrombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) setelah pemakaian vaksin COVID-19 AstraZeneca di Indonesia. Hal ini berdasarkan surveilans aktif dan pasif yang sampai saat ini masih dilakukan oleh Komnas KIPI.

“Keamanan dan manfaat sebuah vaksin sudah melalui berbagai tahapan uji klinis, mulaiuji klini tahap 1, 2, 3 dan 4 termasuk vaksin COVID-19 yang melibatkan jutaan orang, sampai dikeluarkannya izin edar. Dan pemantauan terhadap keamanan vaksin masih terus dilakukan setelah vaksin beredar” kata Prof Hinky.

Sesuai rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), Komnas KIPI bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BPOM melakukan surveilans aktif terhadap berbagai macam gejala atau penyakit yang dicurigai ada keterkaitan dengan vaksin COVID-19 termasuk TTS. Survei dilakukan di 14 rumah sakit di 7 provinsi yang memenuhi kriteria selama lebih dari satu tahun.

“Selama setahun, bahkan lebih, kami amati dari Maret 2021 sampai Juli 2022. Kami lanjutkan lebih dari setahun karena tidak ada gejalanya, jadi kami lanjutkan beberapa bulan untuk juga supaya memenuhi kebutuhan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk menyatakan ada atau tidak ada keterkaitan. Sampai kami perpanjang juga tidak ada TTS pada AstraZeneca,” jelas Prof Hinky.

“Jadi, kami melaporkan pada waktu itu tidak ada kasus TTS terkait vaksin COVID-19,” lanjut Prof Hinky.

Indonesia merupakan negara dengan peringkat keempat terbesar di dunia yang melakukan vaksinasi COVID-19. Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Setelah surveilans aktif selesai, Komnas KIPI tetap melakukan surveilans pasif hingga hari ini. Berdasarkan laporan yang masuk, tidak ditemukan laporan kasus TTS.

TTS merupakan penyakit yang menyebabkan penderita mengalami pembekuan darah serta trombosit darah yang rendah. Kasusnya sangat jarang terjadi di masyarakat, tapi bisa menyebabkan gejala yang serius.

“Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) bila ditemukan penyakit atau gejala antara 4 sampai 42 hari setelah vaksin disuntikkan. Kalaupun saat ini ditemukan kasus TTS di Indonesia, ya pasti bukan karena vaksin COVID-19 karena sudah lewat rentang waktu kejadianya,” jelas Prof Hinky.

“Namanya trombosis, pembuluh darah membeku. Kalau terjadi di otak muncul gejala pusing, di saluran cerna mual, di kaki pegel. Kalau jumlah trombositnya menurun, ada perdarahan, biru biru di tempat suntikan, ya, itu terjadi, tapi 4-42 hari setelah vaksin. Kalau sekarang terjadi, ya, kemungkinan besar terjadi karena penyebab lain, bukan karena vaksin,” kata Prof Hinky.

Masyarakat juga masih bisa melaporkan kejadian ikutan pasca-imunisasi atau KIPI kepada Komnas KIPI melalui puskesmas terdekat. “Puskesmas sudah terlatih, akan dilakukan investigasi, anamnesis, dan rujukan ke RS untuk akhirnya dikaji Pokja KIPI dan dikeluarkan rekomendasi berdasarkan bukti yang ada,” jelasnya. (***)

*Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI

Continue Reading

Kesehatan

Cegah Kanker Serviks: Kolaborasi Bio Farma dan IHC RS Pelabuhan Cirebon Kenalkan CerviScan

Published

on

Grand launching deteksi Ca Cervix dengan Metode PCR HPV-DNA (Sampel Urine) & Vaksin Ca Cervix di Hotel Prima, Kota Cirebon (02/11). (Dokumentasi : @www.biofarma.co.id)

Cirebon, goindonesia.co – Bio Farma bersama IHC RS Pelabuhan Cirebon berkolaborasi cegah kanker serviks dengan memperkenalkan kit diagnostik deteksi dini melalui pemeriksaan urine dengan metode PCR HPV-DNA di Hotel Prima, Kota Cirebon. Acara tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran bahaya kanker serviks dan pentingnya melakukan deteksi dini. 

Direktur Medis dan Hubungan Kelembagaan Bio Farma, Sri Harsi Teteki mengatakan bahwa kanker serviks sangat berbahaya bagi perempuan karena sering ditemukan pada stadium lanjut sehingga pengobatannya terlambat.

“Kanker serviks sangat berbahaya bagi perempuan, seperti kita ketahui kanker serviks menempati urutan kedua terbanyak setelah kanker payudara. Kanker serviks sering kali ditemukan pada stadium lanjut karena tidak adanya gejala pada stadium awal kanker serviks.” ujar Sri Harsi Teteki.

“Sebab itu, pentingnya bagi perempuan untuk melakukan deteksi dini, karena Kanker serviks dapat terdeteksi dengan kita rutin melakukan deteksi dini, lebih awal ditemukan akan memberikan harapan hidup lebih baik.” tambahnya.

Wakil Wali Kota Cirebon, Dra. Hj. Eti Herawati, M.A.P. mengungkapkan dirinya sangat berterima kasih karena diagnostik kit ini memenuhi kebutuhan perempuan dalam melakukan deteksi dini dengan nyaman.

“Atas nama Pemerintah Kota Cirebon, saya mengucapkan terima kasih atas kolaborasi yang terjadi, diagnostik kit ini merupakan jawaban atas kebutuhan perempuan untuk melakukan deteksi dini dengan nyaman.” ungkap Eti Herawati.

“Saya juga berharap dengan adanya kit diagnostik ini kedepannya dapat meningkatkan kesadaran tentang bahaya kanker serviks dan pentingnya melakukan deteksi dini bagi masyarakat khususnya Cirebon.” tambah Eti.

Masih tingginya kasus kanker serviks di Indonesia disebabkan karena rendahnya kesadaran perempuan untuk melakukan deteksi dini dikarenakan merasa takut dan malu.

Kanker serviks juga termasuk penyakit yang disebut sebagai “Silent killer” karena tidak adanya gejala pada stadium awal kanker serviks. Hampir semua kasus kanker serviks (lebih dari 95%) disebabkan oleh infeksi human papillomavirus (HPV) risiko tinggi.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon, Dr. Hj. Siti Maria Listiawaty, MM mengatakan dengan adanya kit diagnostik yang lebih nyaman dan efektif ini dapat memberikan kesadaran bagi masyarakat dalam mencegah kanker serviks.

“Dengan adanya metode yang lebih efektif dan nyaman ini, saya berharap masyarakat akan lebih sadar tentang bahayanya kanker serviks, masyarakat juga tidak perlu takut dan malu lagi untuk melakukan pemeriksaan karena metode yang digunakan adalah mengambil sampel urine.” ungkap Siti Maria.

Karena itu, Maria berharap dengan alat deteksi dini terhadap Human Papillomavirus (HPV) penyebab kanker serviks yang dihadirkan Bio Farma, tidak ada lagi kendala melakukan deteksi dini karena lebih praktis dan nyaman. (***)

*Bio Farma, @www.biofarma.co.id

Continue Reading

Kesehatan

Kemenkes Kolaborasi Dengan Kaukus DPR RI, Luncurkan KOBAR Lawan Dengue

Published

on

Wakil Menteri Kesehatan, Prof. Dante Saksono Harbuwono (Dokumentasi : @sehatnegeriku.kemkes.go.id)

Jakarta, goindonesia.co – Kementerian Kesehatan bersama Kaukus Kesehatan DPR RI deklarasikan kolaborasi bersama melawan penyakit demam berdarah (dengue) di Indonesia. Kolaborasi yang diberi nama KOBAR Lawan Dengue ini diluncurkan pada Jumat, 8 September 2023 di DPR RI, Jakarta.

Wakil Menteri Kesehatan, Prof. Dante Saksono Harbuwono mengatakan koalisi bersama lawan dengue merupakan gabungan dari seluruh stakeholder di tingkat pusat dan daerah. Dengan tujuan untuk mempercepat target bersama mencapai nol kematian akibat dengue di tahun 2030 (zero dengue death by 2030).

Percepatan dilakukan mengingat karakteristik penularan nyamuk dengue telah berubah. Jika dulunya nyamuk dengue lebih banyak ditemui saat musim hujan, maka kini apapun musimnya nyamuk dengue tetap bisa ditemukan. Perubahan inilah yang menyebabkan kasus dengue di Indonesia terus meningkat setiap tahun.

“Sepanjang tahun apapun musimnya dengue itu ada. Kita lihat angka-angkanya juga semakin meningkat. Angka kejadiannya sekitar 25.000/100.000 penduduk di tahun 2012 menjadi 52.000/100.000 penduduk di tahun 2022,” kata Wamenkes.

Wamenkes mengungkapkan kenaikan ini tidak hanya terjadi pada kasus dengue, tapi juga terjadi pada kasus kematian. Tercatat, di tahun 2018 case fatality rate sebesar 0,71% meningkat jadi 0,86% di tahun 2022.

Mengantisipasi terjadinya kenaikan kasus yang lebih tinggi, pemerintah telah menggalakkan gerakan Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik (G1R1J). G1R1J merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk mengendalikan penyakit vektor di lingkungan rumahnya sendiri.

“Melalui program ini, masyarakat diajak untuk meluangkan waktu 1 menit di jam 10 pagi selama 10 minggu berturut-turut. Jadi program ini pada prinsipnya dari masyarakat untuk masyarakat,” terang Wamenkes.

G1R1J, lanjut Wamenkes, akan diperkuat dengan inovasi pencegahan dan pengendalian dengue seperti vaksin dengue yang telah terbukti efektif dan efisien dalam mencegah DBD. Saat ini terdapat dua jenis vaksin dengue yang sudah mendapat izin penggunaan dari Badan POM dan telah beredar di masyarakat. Dua vaksin tersebut yakni vaksin Dengvaxia dan vaksin Qdenga.

Upaya antisipatif lainnya yang juga digalakkan oleh pemerintah adalah memberantas dengue dengan memandulkan nyamuk aedes aegypti menggunakan nyamuk Wolbachia.

Wamenkes menegaskan, upaya penanggulangan dengue tersebut tidak hanya mengandalkan kemampuan pemerintah saja, melainkan harus dilakukan bersama-sama dengan melibatkan semua pihak sesuai dengan kekuatan di bidangnya masing-masing.

“Belajar dari kasus COVID-19, maka ini tidak mungkin jadi program eksklusif Kemenkes saja, melainkan menjadi program inklusif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat termasuk Kaukus Kesehatan DPR RI,” ujar Wamenkes.

“Terima kasih atas kolaborasi yang mesra antara pemerintah dan DPR RI. Mudah-mudahan target nol kematian akibat dengue di tahun 2030 tercapai. Saya berharap kolaisi ini bisa melakukan aksi nyata bukan hanya slogan semata,” lanjut Wamenkes.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Kaukus Kesehatan DPR RI sekaligus anggota Komisi IX DPR RI, Suir Syam, mengatakan merupakan salah satu program prioritas dalam RPJMN tahun 2020-2024.

Ia pun sepakat bahwa Penanggulangan dengue membutuhkan kolaborasi bersama dengan melibatkan lintas sektor guna mempercepat tercapainya target nol kematian akibat dengue di tahun 2023.

Menyadari hal tersebut, guna memastikan pencapaian tujuan tersebut, serta dibutuhkannya percepatan penanggulangan dengue sebagai ancaman kesehatan masyarakat di Indonesia, maka Kaukus Kesehatan DPR RI bersama dengan Kementerian Kesehatan sepakat meluncurkan Koalisi Bersama Lawan Dengue (KOBAR Lawan Dengue) untuk menggalang dukungan bersama dan mengukuhkan komitmen peserta dalam menanggulangi dengue di Indonesia.

“Kami memakai koalisi bersama ini dengan nama KOBAR Lawan Dengue adalah untuk menggalang dukungan dalam menanggulangi dengue di Indonesia. Kami percaya bahwa peluncuran KOBAR lawan dengue menjadi upaya startegis pemenuhan tanggung jawab Negara terhadap target global dalam membaca nol kematian akibat dengue di tahun 20230,” harap Suir Syam. (***)

*Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI

Continue Reading

Trending