Connect with us

Ruang Publik

Penjelasan Yang Tidak Memperjelas

Published

on

Hendry Ch Bangun. (mr)

Catatan Hendry Ch Bangun

Jakarta, goindonesia.co – Pada 27 Februari lalu Dewan Pers mengeluarkan Siaran Pers berjudul “Pendaftaran Tidak Sama dengan Pendataan”, karena banyaknya pemberitaan tentang tidak perlunya pendaftaran perusahaan pers ke Dewan Pers, sehingga “beberapa media beranggapan tidak perlu lagi adanya verifikasi perusahaan media / pers oleh Dewan Pers. Siaran Pers ini bersifat klarifikasi, agar duduk persoalan jelas.

Tetapi banyak rekan pengelola media massa malah dibuat bingung dan bertanya-tanya seperti tercermin di beberapa grup WA. Saya juga termasuk ditanyai pendapat teman dari daerah. Saya jelaskan, prinsipnya verifikasi itu bersifat sukarela,  mau diverifikasi bagus, tidak ya tidak apa-apa, yang pasti kedua pilihan ada konsekuensinya. Itu saja. Jadi tidak usah bingung, baca dan teliti saja UU No. 40 1999 tentang Pers, itu sudah cukup.

Namun saya juga ingin mengklarifikasi siaran pers tersebut, supaya ada gambaran, dan syukur kalau bisa meringankan beban pikiran teman-teman di daerah.

Ada lima butir Siaran Pers bernomor No.07/SP/DP/II/2023, yang menurut saya, justru malah sebagian membuat persoalan tidak jelas, karena tidak memahami substansi dari Undang-Undang Pers No.40 tahun 1999 tentang Pers, dan memasukkan tafsir dan opini yang ke luar konteks UU itu sendiri.

Poin  satu berbunyi begini:

1 . UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang saat itu lahir di era reformasi tidak mengenal pendaftaran bagi perusahaan pers. Setiap orang dapat mendirikan perusahaan pers dan menjalankan tugas jurnalistik tanpa harus mendaftar ke lembaga manapun termasuk ke Dewan Pers. Setiap perusahaan pers sepanjang memenuhi syarat berbadan hukum Indonesia dan menjalankan tugas jurnalistik secara teratur, secara legal formal berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, dapat disebut sebagai perusahaan pers, sekalipun belum terdata di Dewan Pers.

Poin ini harusnya singkat saja, ditegaskan bahwa di dalam UU no 40/1999, tidak ada pendaftaran. Kutipan lengkap Pasal 9 ayat (1) “setiap warga negara dan negara berhak mendirikan perusahaan pers”, kemudian ayat (2) “setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.”Terkait Kode Etik Jurnalistik bunyi UU No40/199 Pasal 7 ayat (2) “wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik”.

Siaran Pers itu mencampuradukkan antara kewajiban pers dan wartawan. Soal kewajiban media ada di Pasal 5, yakni ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah ayat  (2) Pers nasional wajib melayani Hak Jawab, ayat (3) Pers wajib melayani Hak Koreksi. Artinya terkait dengan Kode Etik Jurnalistik, yang dituntut dari sebuah media adalah implementasinya.

Legalitas adalah status berbadan hukum Indonesia, titik. Bagaimana media itu menerapkan pelaksanaan KEJ adalah terkait profesionalitas. Jadi, ini dua hal yang berbeda.

Poin kedua dituliskan demikian:

2. Sesuai pasal 15 ayat 2 huruf (g) UU Pers, tugas Dewan Pers antara lain mendata perusahaan pers. Pendataan oleh Dewan Pers tidak bisa disamakan dengan pendaftaran dan keduanya sangatlah berbeda. Pelaksanaan tugas mendata perusahaan pers, sebagaimana pelaksanaan tugas-tugas lainnya yang dimandatkan oleh UU Pers, ditujukan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.

Logikanya, poin ini menjelaskan apa perbedaan pendataan dan pendaftaran karena dituliskan “tidak bisa disamakan dan sangatlah berbeda”. Apa tuh bedanya? Malah kemudian dikaitkan dengan pelaksanaan tugas Dewan Pers yakni “untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional”, membuat tafsir yang melebar dan membuat kabur maksudnya. Bingung pembacanya.

Poin ketiga dinyatakan:

3 . Pendataan pers merupakan stelsel pasif dan mandiri. Artinya perusahaan pers yang berinisiatif untuk mengajukan diri agar diverifikasi (didata) oleh Dewan Pers sesuai aturan yang ada. Ketentuan tentang pendataan perusahaan pers ini tertuang dalam Peraturan Dewan Perz Nomor 1/Peraturan DP/I/2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers. Dewan Pers tidak dapat memaksa perusahaan pers untuk didata atau ikut verifikasi media.

Saya kira ada beberapa kekeliruan di sini. Jelas dikatakan di UU Pers fungsi Dewan Pers di Pasal 15 ayat (2) huruf (g), mendata perusahaan pers. Mendata adalah kata kerja aktif, sehingga seharusnya Dewan Pers bersifat aktif melakukan pendataan, bukan menunggu bola alias pasif, soal mau atau tidaknya media didata, itu keputusan independen pengelola media. Lalu caranya bagaimana, sudah   ditetapkan dalam Peraturan Dewan Pers No. 1 tahun 2023, yang dalam opini saya, sudah melampaui kewenangan Dewan Pers dalam menafsirkan fungsi ketujuhnya di Pasal 15 UU n0.40/1999. Kata mandiri juga tidak jelas, mengacu kemana?. Pendataannya? Perusahaan persnya?

Kemudian ada kalimat yang ganjil, “Perusahaan pers yang berinisiatif untuk mengajukan diri agar diverifikasi (didata)”.  Dua kata, diverifikasi dan didata, jelas berbeda, tapi dengan masuk dalam kurung artinya dianggap sama. Apalagi di kalimat berikutnya disebutkan Dewan Pers “tidak dapat memaksa perusahaan pers untuk didata atau ikut verifikasi media”, yang artinya kedua kata itu berbeda. Rumusan yang dibuat malah membuat pembacanya bingung.

Poin keempat dituliskan:

4 . Pendataan perusahaan pers bertujuan untuk

-Mewujudkan perusahaan pers yang kredibel dan profesional

-Mewujudkan perusahaan pers yang sehat, mandiri, dan independen

-Mewujudkan perlindungan pada perusahaan pers

-Mengiventarisasi perusahaan pers secara kualitatif dan kuantitatif

Untuk dua tujuan pertama, sebenarnya cukup disebutkan “untuk mewujudkan pers yang profesional” karena istilah “pers profesional” sudah ada di UU No.40/1999, menimbang, poin c. Istilah profesional sudah mencakup pers kredibel, mandiri, dan independen, meski dalam kondisi kehidupan pers saat ini belum tentu “sehat”. Saya juga bertanya dalam hati, apa ya beda “mandiri” dan “independen”.

Tujuan ketiga, maksudnya kalau ada masalah hukum, dengan terdata (bukan terverifikasi), pada media itu diberlakukan UU Pers, bukan UU lain. Tetapi untuk tujuan keempat, khususnya inventarisasi media dari sisi kualitas, apakah Dewan Pers sudah punya alat menilainya, standar menilainya? Apakah nanti cukup dikategorikan dua jenis, berkualitas dan tidak berkualitas? Atau sangat berkualitas, cukup berkualitas, berkualitas, tidak berkualitas? Apakah Dewan Pers siap disomasi karena memberi label media?

Poin kelima dituliskan:

5 . Pendataan pers dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan pers sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya sebagai salah satu unsur yang menopang tegaknya kemerdekaan pers. Perusahaan pers yang tidak bekerja secara profesional, antara lain ditandai dengan tidak memenuhi kewajiban untuk kesejahteraan wartawan, tidak memberikan penghasilan yang layak, atau malah memerintahkan wartawan mencari tambahan penghasilan / iklan. Hal ini pada akhirnya akan membuat wartawan tidak dapat menjalankan tugas dengan profesional karena penghasilan wartawan tergantung kepada seberapa besar ia meraih iklan atau tambahan penghasilan. Situasi ini tentu tidak mendukung wartawan untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.

Kalimat di butir terakhir ini terkesan bertele-tele dan membuat kesimpulan yang keliru. Apakah kalau tidak ada pendataan dipastikan bahwa pers tidak menjalankan kewajibannya? Kalau dilihat ke UU No.40/1999 sudah ada apa itu pers profesional yang menopang kemerdekaan pers dapat tegak, yakni yang menjalankan kewajiban-kewajibannya (Pasal 5), menjalankan perannya (Pasal 6), menjalankan Pasal (10), Pasal (12) terkait kesejahteraan karyawan dan wartawan dan pencantuman nama, alamat, dan penanggungjawab. Tidak perlu lagi dibuat penanfsiran ulang, apalagi dari urusan pendataan.

Terkait dengan wartawan tidak profesional karena perusahaan pers tidak memberi penghasilan, tidak dapat disimplifikasi begitu saja. Masih banyak wartawan yang bekerja dengan idealisme, khususnya kalangan muda yang mendirikan perusahaan pers untuk mengontrol kekuasaan, dan menganggap gaji adalah nomer lima.

Soal wartawan ikut membantu “mencari” iklan, bisa dipastikan itu juga terjadi pada media dengan nama besar di ibukota, tetapi mereka sadar harus menjaga “tembok api” antara bisnis dan redaksi. Istilah populernya, mereka hanya mengetuk pintu, dan urusan berikutnya dijalankan petugas iklan. Apakah memenuhi undangan sebuah perusahaan atau lembaga untuk liputan kinerja atau produk, atau ikut ke luar negeri, ke luar kota, bukan upaya lobi agar di suatu saat nanti mereka memasang iklan di si wartawan? Profesionalisme wartawan justru ditantang di sini agar dia tetap teguh pada prinsip independensi atau serong ke kiri dan ke kanan.

Terakhir saya kira, hebohnya urusan istilah pendataan dan pendaftaran ini muncul setelah Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Dewan Pers No.1 tahun 2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers. Aturan baru itu, saya ulang lagi seperti di tulisan sebelumnya, seperti “membunuh” perusahaan pers yang bermodal kecil atau menengah (UMKM), dan malah kemudian menghambat kemerdekaan pers.

Banyaknya media kecil mencerminkan banyak dan beragamnya kepemilikan media, memperbanyak akses masyarakat khususnya di daerah untuk menyampaikan aspirasi, melakukan kritik, dan ikut berperan dalam diskursus berbagai persoalan bangsa. Mereka meskipun tidak sebanding, mampu memberikan narasi tandingan dari informasi yang disumpalkan media besar ke mulut masyarakat.

Lebih baik peraturan itu dikaji ulang, apalagi waktu demi waktu semakin banyak perusahaan pers yang mati bergelimpangan, termasuk yang diputus kerjasama kemitraan pencitraan pemerintahan daerah karena status terverifikasi media hilang dari dewanpers.or.id.  Hilangnya nama media itu terjadi karena Dewan Pers melakukan audit verifikasi, uji petik, terhadap perusahaan yang tidak melengkapi syarat, tidak mampu memenuhi syarat sesuai dengan aturan baru. Hilanglah langsung nafasnya karena kontrak iklan itu menjadi urat nadi kehidupan media UMKM itu.

Memasuki tahun politik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga pasti akan memasukkan status terverifikasi agar mendapat kue iklan di Pemilu 2024 nanti. Apa sumbangsih Dewan Pers dalam memberikan “udara segar” dan “nafas” bagi media UMKM? Kok malah seperti tega membunuh media yang sudah berjuang untuk eksis?

Wallahu alam bhisawab. (***)

Continue Reading
Advertisement Berita Vaksin Penting

Ruang Publik

Tak Setiap Syiar Perlu Diteriakkan, Penting Ada Aturan Pengeras Suara

Published

on

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Foto : @www.kemenag.go.id)

Jakarta, goindonesia.co – Saat ini sedang ramai kembali perdebatan tentang Surat Edara Menteri Agama Republik Indonesia Nomor SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Keriuhan ini salah satunya dipicu oleh statemen salah seorang tokoh yang mengkritik SE tersebut dengan membandingkan antara penggunaan pengeras suara di masjid-masjid selama Ramadhan dengan kebisingan pertunjukan dangdut.

Mari kita bahas masalah ini dengan santai, dengan membayangkan berbagai pertanyaan yang muncul dalam masalah ini. Pertanyaan pertama, saat kita sedang istirahat atau tidur dan membutuhkan ketenangan, kemudian ada suara yang sangat keras memasuki gendang telinga kita, apakah kita akan terganggu? Dalam situasi normal, kita pasti akan menjawab ‘ya’.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah perasaan terganggu itu disebabkan oleh volume suara atau dari isi suara? Di pertanyaan kedua ini orang bisa berdebat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita memiliki kesan yang berbeda antara bunyi kereta api dengan bunyi alunan musik yang masuk ke dalam gendang telinga kita sekalipun keduanya memiliki volume yang sama. Jadi, gangguan tidak semata-mata ditentukan oleh volume, tapi juga isi suara.

Sekalipun demikian, ada kondisi-kondisi tertentu di mana kita tidak ingin mendengar suara apa pun sekalipun itu adalah lagu favorit yang biasa kita dengar. Misalkan, pada saat tidur, kita membutuhkan keheningan.

Dalam masalah ini, pertanyaan adalah seberapa umum situasi keheningan itu dibutuhkan oleh orang yang tidur? Jawabannya adalah tidak ada kondisi yang sepenuhnya seragam bagi semua orang. Jika kebanyakan orang membutuhkan situasi hening saat tidur, ada orang-orang tertentu yang justru ingin tidur sambil ditemani musik. Ya, memang ada orang-orang yang hanya bisa istirahat atau tidur sambil ditemani oleh alunan musik.

Masalahnya adalah jika orang itu tidur bersama dengan orang lain yang tidak bisa tidur jika ada suara yang menggangu, termasuk suara alunan musik, apakah si orang itu diperbolehkan memutar musik pengantar tidurnya? Jawabannya boleh, tapi harus hanya dia sendiri yang mendengar; tidak boleh mengganggu teman sekamarnya yang ingin tidur dalam keheningan. Bagaimana caranya? Terserah! Pakai headset, misalnya.

Terlepas dari seluruh keragaman kondisi dalam situasi apa orang merasa terganggu dengan kebisingan, baik karena volumenya maupun karena isinya, telinga manusia memiliki kapasitas objektifnya dalam mendengar kekerasan suara. Telinga manusia sanggup mendengar suara dari 0 hingga 140 dB. Sebagai pertimbangan, konser musik biasanya mencapai 105 dB. Sirine ambulans mencapai 120 dB. Sedang suara ledakan kembang api mencapai 130 dB.

Telinga manusia secara normal akan terganggu jika mendengar volume suara di atas 85 dB. Ada kondisi objektif di mana manusia secara umum mengalami gangguan kebisingan. Sesuka apa pun seseorang terhadap musik, termasuk bagi mereka yang menginginkan tidur ditemani alunan musik, dia tidak akan memutar musik di kamar tidurnya di jam tidurnya sehingar bingar konser. Hampir tidak ada orang yang akan menikmati raungan sirine ambulans sepanjang malam. Begitu juga orang tidak ingin menikmati ledakan kembang api saat ia ngantuk sekalipun itu di malam tahun baru.

Para ahli lingkungan telah lama memberi perhatian terhadap dampak dari kebisingan ini melalui konsep polusi kebisingan (noise pollution). Noise pollution didefinisikan sebagai setiap suara yang tidak diinginkan atau mengganggu yang menyebabkan pada kesehatan dan kebaikan manusia serta organisma lain. Volume suara di atas 85 dB dinyatakan para ilmuan dapat membahayakan manusia.

Polusi kebisingan ini tanpa disadari berdampak pada kesehatan jutaan orang. Dampak yang paling umum dari polusi kebisingan adalah hilangnya pendengaran. Polusi kebisingan juga dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, penyakit jantung, gangguan tidur, hingga stres. Anak-anak adalah kelompok umur yang paling berisiko terkenan dampak negatif dari polusi kebisingan ini.

Kebisingan adalah kebisingan, dari mana pun sumbernya. Karena itulah maka penggunaan pengeras suara, sekalipun itu untuk acara keagamaan di rumah ibadah, perlu diatur agar ekspresi keagamaan tidak menimbulkan ekses negatif hanya karena penggunaan pengeras suara yang berlebihan.

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana kita akan melakukan syiar Islam jika penggunaan pengeras suara luar dilarang?” Sebelum menjawab pertanyaan ini perlu kembali dinyatakan bahwa Surat Edaran Menteri Agama di atas sama sekali tidak melarang penggunaan pengeras suara dalam aktivitas syiar Islam di masjid dan musala, tapi mengaturnya agar penggunaan itu tidak berlebihan. Bahkan di bagian ‘Tata Cara Penggunaan Pengeras Suara’ secara eksplisit dinyatakan bahwa “Pengumandangan azan menggunakan pengeras suara luar”.

Terkait dengan syiar, pertanyaannya adalah apakah tujuan syiar Islam? Jika tujuannya adalah untuk menyebarkan pesan-pesan Islam kepada masyarakat luas agar mereka “tertarik” kepada Islam, maka bagaimana mungkin Islam akan menarik orang lain jika syiarnya justru dilakukan dengan cara-cara yang mengganggu ketenangan mereka.

Dalam masalah ini, adalah penting untuk belajar kepada Sayyidina Ali RA. Dalam sebuah kesempatan, beliau menyatakan, رُبَّ سُكُوت أبْلَغُ مِنْ كَلام (Terkadang, diam itu lebih kuat menyampaikan pesan dari omongan).

Cara kita dalam mensyiarkan Islam seringkali tidak membuat orang lain mengenal keindahan dan kebaikan Islam, tapi justru sebaliknya. Jika perintah puasa di bulan Ramadhan salah satunya agar kita memiliki empati pada orang lain, tapi cara-cara kita yang berlebihan dalam menggunakan pengeras suara, sekalipun dengan dalih ibadah dan syiar, bisa-bisa membuat orang lain justru memiliki kesan sebaliknya atas ibadah puasa dan bulan Ramadhan. (***)

*Ahmad Zainul Hamdi (Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kemenag)

Continue Reading

Ruang Publik

PRATIWI NOVIYANTHI: Youtuber Sukses yang Siap Berjuang Membela Orang Tidak Mampu Mendapatkan Keadilan

Published

on

Youtuber sukses Pratiwi Noviyanthi masih terus ingin berjuang memanusiakan manusia (Foto : Gungde Ariwangsa, @www.suarakarya.id)

Jakarta, goindonesia.co : Profesi pramugari yang menjadi idaman banyak wanita ditinggalkan Pratiwi Noviyanthi. Padahal posisinya sudal settle dengan jam terbang yang panjang mengarungi angkasa keliling Indonesia dan menembus mancanegara. Tetapi panggilan hati yang ditanamkan orangtuanya untuk selalu berbagi dan berbuat baik pada orang lain membuat Pratiwi banting stir menjadi youtuber kemanusiaan yang peduli pada masalah sosial dan keadilan hukum.

Dari angkasa yang penuh keindahan dan keteraturan Pratiwi membumi memasuki kehidupan penuh tantangan, hadangan dan bahkan tidak jarang kekerasan. Namun Pratiwi tidak menyesal meninggalkan dunia yang sudah digelutinya selama delapan tahun dan memberikan penghasilan di atas rata-rata. Keinginan untuk mendapatkan hal yang baru dan juga membantu orang lain lebih kuat untuk mengambil keputusan resign sebagai pramugari.

“Oh tidak ada masalah dengan pekerjaan saya. Waktu itu lagi Covid-19 penerbangan jarang. Saya ambil cuti selama tiga bulan dan coba main youtube. Setelah itu saya mundur karena sudah pilih untuk menjadi youtuber. Saya mundur 20 Desember 2020,” kata Novi panggilan akrab Pratiwi saat ditemui di sebuah rumah yang asri di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (3/11/2023).

Manajer di perusahaannya sempat kaget ketika Novi menyatakan resign. Dia ditanya apakah yakin dan tidak sayang mundur dari pekerjaan yang sudah dijalani cukup panjang. “Saya jawab yakin,” tutur gadis yang masih single meskipun sudah ada pacarnya itu.

Ketika mundur,  Novi menekuni youtube mulai dari liputan pada sebuah yayasan ODGJ di Tasikmalaya Jawa Barat. Konten pertamanya ini  sudah langsung mendapat perhatian masyarakat. Saat itu dia bertemu presenter yang juga selegram top Irfan Hakim. “Aa (Irfan) membantu saya. Terutama dalam memviralkan youtube saya,” ujar Novi.

Pengalaman itu membuat Novi makin serius menangani youtube. Dia pun mulai membentuk tim dengan melengkapi peralatannya. Kalau dulu dimulai dengan hanya dua orang maka kini Novi sudah mempunyai 21 karyawan.

Melalui yayasan yang didirikannya, gadis kelahiran Jakarta, 15 November 1994 itu, aktif bergerak menolong mulai dari Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ), anak-anak korban kekerasan seksual maupun masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).  Bukan hanya di Ibukota, daerah kelahirannya, Pratiwi juga tidak jarang  berkeliling daerah pelosok untuk mengangkat masalah kemanusiaan dan ketidakadilan yang menerpa rakyat kecil dan kurang mampu. Dari petualangannya itu dia kemudian membagikan apa yang dilihat, didengar dan dibantunya itu  melalui kanal Youtube-nya dan media sosial lainnya seperti instagram dan fans page.

Selama hampir tiga tahun mengarungi dunia youtube, Novi bersama timnya cukup produktif. Sudah 2000 konten diluncurkan. Hampir semuanya viral sehingga untuk channel youtube @PratiwiNoviyanthi yang  ditujukan untuk bagaimana kita memanusiakan manusia sudah mendapatkan 4,43 juta subscriber .

Selain aktivias membuat konten, Novi juga memberikan perhatian khusus dengan merawat beberapa ODGJ dan anak terlantar. Ada 6 ODGJ dan 15 anak terlantar kini diasuh di rumah singgahnya di kawasan Jakarta Barat.

Kuliah Hukum

Novi ringan tangan membantu, menolong, merawat dan membela orang lain terutama masyarakat kecil tidak mampu karena sejak kecil sudah dididik orantuanya untuk berbagi dan membantu orang lain. Orangtuanya sering memberi contoh ada pedagang kecil yang perlu dibantu.

“Setelah tamat sekolah dan bekerja menjadi pramugari maka saya sudah biasa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membantu yang membutuhkan. Itu kewajiban. Membantu orang itu bukan karena sesuatu namun karena kewajiban,” kata Novi.

Meskipun sudah menjadi youtuber penghasil konten viral, Novi tidak suka pamer. Penampilannya sederhana cendrung praktis namun tetap tampak serasi dengan wajahnya yang jauh dari polesan kosmetik.  

“Saya memang tidak suka pamer. Saya lebih suka memakai sesuatu sesuai dengan manfaatnya. Kalau bermanfaat saya beli kalau tidak ya lebih baik disimpan atau dibagikan kepada orang yang membutuhkan,” ucap anak bungsu dari dua bersaudara itu.

Kini setelah jauh membumi, setelah jauh melangkah dan berbuat ternyata Novi belum mau berhenti. Dia masih ingin terus berbuat dan melakukan sesuatu yang baik untuk orang lain. Bahkan dia memiliki obsesi menjadi pengacara yang berjuang bagi orang-orang tidak untuk mendapatkan keadilan.

“Saya ingin jadi pengacara. Membela orang yang membutuihkan tanpa dipungut biaya. Saya ingin fight untuk orang2 kecil di luar sana karena banyak banget keadilan-keadilan tidak ditegakkan,” tegas Novi dengan wajah serius.

Obsesi yang lahir dari pengalaman, petualangan Novi bersentuhan dengan orang-orang dari berbagai kalangan dari Ibukota hingga daerah-daearah pelosok.  Dalam berbagai aktivitasnya itu Novis menemukan kenyataan banyak banget orang di bawah garis kemiskinan yang mendapat masalah hukum takut untuk melapor karena unsurnya mereka sudah memikikan uang.

“Saya ingin merubah itu semua dan saya ingin berjuang untuk orang-orang tidak mampu untuk mendapatkan keadilan,” ucap Novi.

Keinginan dan obesinya itulah yang membuat Novi kini kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta.  Langkah lanjutan Novi untuk memanusiakan manusia terutama orang-orang kecil tak mampu dalam mencari dan menemukan keadilan. Suatu yang masih langka di negeri ini …… ***

Data Pribadi

Nama                         : Pratiwi Noviyanthi

Nama panggilan          : Novi

Tempat lahir                : Jakarta

Tanggal lahir               : 15 November 1994

Agama                      : Islam

Profesi                        : Youtuber, relawan ODGJ

Akun instagram          : @pratiwinoviyanthi_real

Akun youtube             : Pratiwi Noviyanthi. (***)

*@www.suarakarya.id

Continue Reading

Ruang Publik

Fatkhul Ilma, Petani Inovatif Dari Bojonegoro

Published

on

Smart farming yang dikembangkan oleh Fatkul Ilma, petani sekaligus pendiri Gubuk Edukasi Djoyo Tani (Foto : Kominfo Bojonegoro)

Bojonegoro, goindonesia.co – Fatkul Ilma, petani sekaligus pendiri Gubuk Edukasi Djoyo Tani dikenal sebagai sosok inovatif yang mengaplikasikan smart farming dan membuat greenhouse untuk menanam melon.

Berlokasi di Dusun Pesantren, Desa Bendo, Kecamatan Kapas, greenhouse milik Ilma, menjadi satu-satunya greenhouse di sana. Berkat keuletannya, Ilma kini mampu mengajak warga sekitar untuk bergotong-royong membangun greenhouse. 

“Proses tanam lebih mudah karena sudah tidak memakai tanah, melainkan serabut kelapa. Sementara teknologi yang digunakan melalui teknologi smart farming. Artinya, semua sistem otomatis sehingga bisa dikendalikan jarak jauh. Cara kerja smart farming melalui sistem irigasi tetes dan spray embun. Petani milenial itu keren, harus punya terobosan baru, sehingga para petani muda milenial tidak kalah bersaing,” jelasnya, hari ini Selasa (10/10/2023).

“Untuk jenis melonnya ada dua. Pertama, sweetnet dari Thailand dan jenis glamour sakata dari Jepang. Pada 17 hingga 25 Juli 2023 lalu, saya melakukan open house perdana bertajuk “Petik Melon Premium Langsung dari Kebun. Saya berharap para petani khususnya petani muda, tidak malu untuk menjadi petani. Karena petani sekarang itu tidak harus kotor dan harus di sawah. Petani bisa berdasi dan berseragam seperti pejabat kantoran,” tambahnya.

Ilma juga menyampaikan agar pemerintah terus mendukung petani muda khususnya, baik itu dukungan secara pendampingan di lapangan maupun dukungan secara finansial. Ilma mengaku, petani milenial Bojonegoro itu banyak dan keren-keren. Pemerintah tinggal memoles dan mengkonsep ke depannya dan di arahkan kemana, karena tanpa adanya petani, ketahanan pangan akan terancam,” pungkasnya. (***)

*@kominfo.jatimprov.go.id

Continue Reading

Trending