Connect with us

Hukum

Dalam Eksepsi, Kuasa Hukum Anthony Hamzah Sebut Penyidikan dan Pelimpahan Perkara Kliennya Menyalahi Prosedur

Published

on

Kuasa Hukum Anthony Hamzah membacakan eksepsi atau nota keberatan dakwaan di Pengadilan Negeri (PN) Bangkinang (Istimewa)

Kampar, goindonesia.co – Kuasa hukum Anthony Hamzah, Samaratul Fuad menilai, jaksa penuntut umum (JPU) tidak cermat mengajukan dakwaan kepada kliennya.

Hal itu disampaikan Fuad saat membacakan eksepsi atau nota keberatan dakwaan di Pengadilan Negeri (PN) Bangkinan, Kamis (24/3/2022).

Sebelum menyampaikan keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum, kuasa hukum Anthony Hamzah menjabarkan proses penyidikan dan pelimpahan perkara yang saat ini menempatkan kliennya di kursi terdakwa telah menyalahi prosedur hukum dan ilegal.

Di hadapan Majelis Hakim yang diketua Dedi Kuswara, Fuad menguraikan tentang proses penyidikan yang menyalahi prosedur hukum yang dilakukan penyidik Polres Kampar terhadap pemeriksaan saksi – saksi.

Ia mengungkapkan bebera kejanggalan saat pemeriksaan saksi, dalam berita acara pengambilan sumpah janji sebagai saksi. Diambil sumpah janji sesuai dengan agama islam sementara saksi tersebut beragama kristen.

“Lapal sumpah yang tertera (red-BAP) “Saya Bersumpah” lafal ini mestinya untuk penganut agama islam. Padahal lafal sumpah untuk penganut agama kristen adalah “Saya Berjanji” dan diakhiri dengam kalimat semoga tuhan menolong saya,” ujar Fuad.

Selain itu kata Fuad. diambil sumpah atau janji selaku pelapor sementara diperiksa sebagai saksi dan juga tidak ada tanda tangan pada berita acara pengambilan sumpah tersebut. Kemudian berita acara pengambilan sumpah saksi ahli, kdi BAP Dr. Muhammad Nurul Huda SH. MH diakui sebagai perempuan sedang yang bersangkutan laki -laki. Dia disumpah bukan sebagai ahli tetapi sebagai saksi.

Fuad mengatakan, kejanggalan lain yang ditemukan dalam berkas perkara yaitu tentang daftar saksi, dalam daftar saksi terdapat sebanyak 15 orang saksi akan tetapi dalam berkas perkara terdapat BAP saksi yang tidak dalam daftar saksi dan BAP pengambilan sumpah. Sehingga terdapat penggelapan saksi yang tidak di dalam dalam daftar saksi tetapi dimasukan juga dalam berkas perkara.

Kemudian penyidik tidak memeriksa saksi yang meringankan terdakwa, pada waktu itu terdakwa mengajukan sebanyak tiga orang saksi. Namun yang diperiksa hanya satu orang sementara dua lainnya tidak pernah di periksa oleh penyidik, meskipun sudah kami sampai selaku penasehat hukum terdakwa kepada penyidik akan tetapi tidak dipedulikan, terdakwa juga menyampaikan kepada jaksa saat pelimpahan perkara juga tidak direspon sebagaimana mestinya.

“Pengabaian terhadap hal ini secara hukum mengakibatkan BAP tersangka atau terdakwa yang dijadikan sebagai salah satu dasar untuk menyusun dakwaan merupakan kelalaian dalam menerapkan hukum acara. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 240 ayat (1) KUHAP dan mengakibatkan dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima (videPutusan Mahkamah Agung RI No. 1565 K/PID/1991 tanggal 26 Agustus 1993 jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 510K/PID/1998 tanggal 28 April 1998),” terang Fuad.

“Oleh karena BAP tersangak atau terdakwa yang menjadi salah satu dasar surat dakwaan JPU terdapat banyak kekeliruan dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Maka BAP tersangka yang dijadikan sebagai dasar dakwaan oleh penuntut umum adalah melanggar hukum dan penyidik telah lalai dalam menerapkan Hukum Acara, sehingga surat dakwaan JPU tidak sah menurut hukum. Untuk itu kami penasihat hukum terdakwa meminta Mejelis hakim yang memeriksa perkara a guo untuk menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima,” ucapnya.

Fuad juga memebeberkan setelah pelajari berkas perakara terdakwa yang dilimpahkan kepada PN Bangkinang terdapat resume perkara yang dibuat oleh penyidik tertanggal 10 Februari 2022 pukul 09.00 WIB. Ternyata dalam berkas perkara juga di temukan adanya pemeriksaan terdakwa pada tanggal yang sama pada pukul 17.30 WIB. Selain itu ia juga menemukan berkas perkara yang berbeda.

Ia menilai kehadiran terdakwa Anthony Hamzah dalam persidangan adalah secara tidak sah dan ilegal karena terdakwa tidak dipanggil secara patut.

“Terdakwa tidak pernah menerima surat panggilan tidak terdapat apapun mengenai hal ini, dalam pasal 145 ayat (3) KUHAP secara jelas dinyatakan. Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan melalui pejabat rumah tahanan negara” terangnya.

“Dengan demikian berdasarkan uraian diatas, sangat beralasan untuk menyatakan persidangan yang mebacakan dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak sah karena dilakukan | dari proses – proses yang melawan hukum, ilegal dan tidak fair sehingga patutlah persidangan dakwaan Jaksa dinyatakan batal demi hukum atau di batalkan,” katanya.

Kemudian Fuad, juga menilai bahwa jaksa penuntut umum tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengakap dalam mengajukan dakwaan terhadap kliennya.

“Berdasarkan uraian yang kami paparkan di atas, bahwa jelas dan terang Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan kepada terdakwa di atas tidak memenuhi unsur dar pasal – pasal yang di dakwakan kepada terdakwa sehingga hal Inilah yang membuat dakwaan JPU tidak jelas, cermat danlengkap sesuai yang dimaksud oleh Pasal 143 ayat (2) dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP,” ucapnya.

“”Berangkat dari dalil – dalil tersebut di atas, maka kami mohon kepada Majelis Hakim yang menyidangkan perkara a quo untuk menetapkan dan memutuskan dalam putusan sela-nya bahwa dakwaan batal demi hukum atau tidak dapat diterima atau surat dakwaan di batalkan,” katanya.

Usai persidangan, saat awak mintai tanggapan terkait dakwaan jaksa penuntut umum Fuad menyebut dakwaan jaksa itu dipaksakan.

“Dakwaan jaksa itu dipaksakan, kami dari awal mengatakan kasus Antony Hamzah itu i kasus yang penuh rekayasa. Tidak hanya kasusnya, prosesnya pun penuh reka yasa, mulai dari proses dia ditetapkan sebagai tersangka sampai kepersidangan,” pungkasnya. (***)

Continue Reading
Advertisement Berita Vaksin Penting

Hukum

KY: “Putusan PN Jakarta Pusat terkait Pemilu Kontroversial”

Published

on

Ilustrasi hukum. Ilustrasi ©2013 Merdeka.com

Jakarta, goindonesia.co– Komisi Yudisial (KY) mencermati substansi putusan PN Jakarta Pusat dan reaksi yang muncul dari putusan tersebut. Putusan tersebut pada prinsipnya menimbulkan tanda tanya dan kontroversi di tengah masyarakat.

Putusan pengadilan tidak bekerja di ruang hampa, karena ada aspirasi yang hidup di masyarakat secara sosiologis, ada aspek yuridis di mana kepatuhan terhadap UUD 1945 dan undang-undang sangatlah penting, serta pertimbangan-pertimbangan lain, seperti nilai-nilai demokrasi. Kesemua itu menjadi bagian dari yang mesti digali oleh hakim dalam membuat putusan.

Untuk itu, KY akan melakukan pendalaman terhadap putusan itu, terutama untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran perilaku yang terjadi. Salah satu bagian dari pendalaman itu bisa jadi dengan memanggil hakim untuk dimintakan klarifikasi. Apabila ada dugaan yang kuat telah terjadi pelanggaran perilaku hakim, maka KY akan melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang bersangkutan.

Namun, perlu digarisbawahi, terkait dengan substansi putusan, forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan ini adalah melalui upaya hukum. Domain KY berfokus pada aspek dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. KY juga akan berkomunikasi dengan Mahkamah Agung terkait dengan putusan ini serta aspek perilaku hakim yang terkait. (***)

(Sumber : Komisi Yudisial, @/www.komisiyudisial.go.id)

Continue Reading

Hukum

PKS dan PSI Dukung Sistem Pemilu Proporsional Terbuka

Published

on

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sistem proposional terbuka dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait, Kamis (23/02) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Jakarta, goindonesia.co– Pembentuk UU memang pernah menerapkan sistem proporsional tertutup namun kemudian berubah dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. Hal ini menguatkan bahwa penentuan mekanisme dan tata cara pemilihan adalah kewenangan pembentuk UU sebagai suatu kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Pilihan pembentuk UU menggunakan sistem proporsional terbuka kemudian dikuatkan oleh Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang mengedepankan pada suara terbanyak dengan dasar perlindungan terhadap hak asasi manusia para pemilih. Hal ini sejalan dengan pertimbangan hukum MK pada putusan 22-24/PUU-VI/2008 pada sub-paragraf (3.15.3 halaman 105).  

Hal tersebut disampaikan oleh Faudjan Muslim yang mewakili Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam sidang yang digelar pada Kamis (23/2/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi. Perkara yang menguji secara materiil Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi.

Faudjan menegaskan sistem proporsional terbuka perlu tetap dipertahankan. Sistem tersebut akan membuat adanya kedekatan antara pemilih dengan kandidat yang ditawarkan oleh partai politik. Sehingga tingkat tanggung jawab anggota legislatif terhadap konstituen akan tinggi sekaligus dapat memperkuat partisipasi dan kontrol publik. Harapannya kinerja partai dan parlemen juga semakin bisa lebih mudah dievaluasi. Hal ini karena rakyat menentukan langsung siapa yang dipilihnya. Sistem proporsional terbuka akan mendukung dinamika internal partai paling tidak mesin partai akan berjalan maksimal karena adanya kompetisi positif antar bakal calon dewan. Harapannya dinamika tersebut dapat mengajak pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu sekaligus dapat menarik dukungan untuk memilih kandidat atau partai. Apabila pilihannya tidak sesuai lagi dengan aspirasinya maka pemilih dapat mengubah pilihannya pada pemilu berikutnya.

Bersaing dengan Sehat

Faudjan menjelaskan, Para pemohon mendalilkan dalam permohonannya mendalilkan sistem proporsional terbuka menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan menitikberatkan pada aspek popularitas dan kekuatan modal dalam proses pemilihan umum. Terhadap dalil ini, Pihak Terkait menilai para pemohon terlalu pesimis karena bukan yang dianggap popular sehingga tidak dikenal di publik.

“Pada faktanya sistem proporsional terbuka dapat membuat caleg bersaing dengan sehat. Caleg popular dan memiliki elektabilitas yang baik di tengah masyarakat dapat mendekatkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pasca pemilu dan memudahkan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat,” jelas Faudjan.

Hak Recall

Faudjan selanjutnya menjelaskan mengenai hak recall yaitu hak yang melekat dan dimiliki oleh pimpinan partai, baik dalam sistem proporsional terbuka maupun tertutup. Pada sistem proporsional terbuka, implikasi dari recall adalah, pemilih sudah mengetahui siapa pengganti setelahnya yaitu calon legislatif (caleg) dengan suara terbanyak di bawahnya. Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup pengganti legislatif yang direcall merupakan kewenangan yang dimiliki partai politik. Akan tetapi pemilih tidak memiliki siapa penggantinya. Hal ini terjadi karena hak recall sendiri tidak lepas dari eksistensi partai politik. Para pemohon menganggap sistem proporsional terbuka menimbulkan individualisme para politisi sehingga menyebabkan konflik internal, kanibalisme internal partai politik sendiri. Pihak Terkait memandang, dengan sistem proporsional tertutup, pemilih tidak memiliki peran dalam menentukan siapa kandidat caleg yang dicalonkan dari partai politik.

Original Intent Pembentuk UU

Pihak Terkait berikutnya yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Diwakili oleh Anthony Winza Prabowo, PSI menegaskan dengan sistem proporsional terbuka rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih. Sehingga akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih yaitu calon yang memperoleh suara dan dukungan rakyat paling banyak.

Anthony menyebutkan original intent dari pembentuk UU adalah proporsional terbuka. “Kenapa saya katakan demikian, karena dalam pengujian materil titik beratnya bukan semata-mata hanya materi UU yang diuji namun yang lebih penting itu adalah batu ujinya sendiri. Bagaimana menafsirkan konstitusi. Makna yang tersirat dan tersurat dalam kata-kata konstitusi tersebut. Jadi, bukan hanya harus melihat legislative intent dari pembentuk UU tetapi juga perlu menggali intensi-intensi orisinil pembentuk konstitusi itu sendiri maupun amendemennya. MK sendiri telah menafsirkan konstitusi dengan menempatkan original intent sebagai faktor yang utama dalam melakukan penafsiran terhadap konstitusi,” terang Anthony.

Menurutnya, hal tersebut dapat dilihat dengan jelas dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tepatnya di halaman 106. Pada saat itu MK menyatakan MK harus menggunakan pendekatan yang rigid sejauh UUD 1945 telah mengatur secara jelas kewenangan atributif masing-masing lembaga tersebut. Dalam hal MK terpaksa harus melakukan penafsiran atas ketentuan yang mengatur sebuah lembaga negara, maka MK harus menerapkan penafsiran original intent tekstual, dan gramatikal yang komprehensif yang tidak boleh menyimpang dari apa yang secara jelas tersurat dalam UUD 1945.

“Jadi, penempatan original intent mendahului tekstual lalu kemudian mendahului gramatikal itu adalah yudikatif intent dari MK untuk menyatakan original intent ini memiliki prioritas tertinggi dalam metode menafsirkan,” tegasnya.

Pemilu Sehat

M. Sholeh selaku Pihak Terkait dalam persidangan mengatakan sistem proporsional terbuka menjadikan pemilu menjadi sehat, sebab para caleg jauh sebelum pemilu berlangsung sudah mendekati warga. Berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang mana para caleg tidak akan melakukan kerja-kerja politik mendekati warga. Sehingga tidak ada kompetisi dan tidak ada para caleg menyampaikan gagasan maupun program dan mencari simpati warga.

“Banyak caleg yang bukan bermodal besar tetapi bisa berhasil lolos parlemen, misalnya caleg PDIP Johan Budi mantan Komisioner KPK, uang dari mana dia, nyatanya dia bisa terpilih, bisa mengalahkan incumbent Budiman Sujatmiko. Incumbent aja bisa kalah di dapilnya dengan caleg-caleg baru yang memang di situ mau turun ke masyarakat dan sudah punya modal sosialnya tinggi,” ungkap M. Sholeh saat membantah dalil pemohon yang menyatakan caleg harus kaya.

Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.

Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks.

Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.

Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat. (***)

(Sumber : HUMAS MKRI, @www.mkri.id)

Continue Reading

Hukum

Bea Cukai dan Ditipidnarkoba Bareskrim Polri Ungkap Peredaran Gelap Sabu Jalur Laut Malaysia – Aceh

Published

on

Barang bukti narkotika jenis sabu sejumlah 200 bungkus dengan berat brutto 200 kilogram yang berhasil diamankan Bea Cukai dan Ditipidnarkoba Bareskrim Polri (Sumber : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, @www.beacukai.go.id)

Jakarta, goindonesia.co – Pada pertengahan Februari 2023 Ditipidnarkoba Bareskrim Polri mendapat informasi adanya peredaran gelap narkotika jenis sabu melalui jalur laut dari Malaysia ke Aceh. Menindaklanjuti informasi tersebut, Ditipidnarkoba Bareskrim Polri bekerja sama dengan Ditresnarkoba Polda Aceh dan Bea Cukai melakukan penyelidikan dan patroli di lokasi yang dicurigai.

“Pada hari Rabu tanggal 15 februari 2023 sekitar pukul 20.41 wib tim gabungan menangkap kapal pancing (boat oskadon) di sekitar perairan Kuala Teupin Bangka Jaya, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Setelah dilakukan penggeledahan terhadap tiga orang laki-laki atas nama ZA, M, dan RS dan kapal tersebut, petugas menemukan empat buah karung motif garis biru kuning dan sebuah kotak fiber ikan berwarna biru yang berisi empat buah karung motif biru kuning yang berisi narkotika jenis sabu sejumlah 200 bungkus dengan berat brutto 200 kilogram,” ungkap Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan, Hatta Wardhana.

Dari hasil interogasi terhadap tersangka, diketahui mereka dikendalikan oleh R yang saat ini masuk dalam daftar pencarian orang. “Modus operandi yang digunakan ialah para tersangka menjemput narkotika dari Malaysia melalui perairan ke perairan Aceh dengan teknik ship to ship. Mereka memanfaatkan jasa kurir nelayan lokal (Aceh),” lanjutnya.

Pasal yang disangkakan untuk kasus narkoba ini ialah Pasal 114 ayat (2) juncto pasal 132 ayat (2) undang-undang republik indonesia nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yaitu mengedarkan narkotika Golongan I. Ancaman hukuman dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat enam tahun dan paling lama dua puluh tahun penjara dan pidana denda minimal Rp1.000.000.000 dan maksimal 10.000.000.000 ditambah sepertiga. Subsider Pasal 111 ayat (2) juncto pasal 132 ayat (2) undang-undang republikindonesia nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun penjara dan pidana denda minimal Rp800.000.000,00 dan maksimal Rp8.000.000.000,00 ditambah sepertiga.

“Sebagai tindak lanjut penanganan kasus ini, pihak Polri akan melakukan pengembangan kasus dan menuntaskan penyidikan,” tutup Hatta. (***)

(Sumber : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, @www.beacukai.go.id)

Continue Reading

Trending